Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, August 17, 2007

Munir


Munir, SH pejuang Hak Asasi Manusia ini lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965. Kepergiannya meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak bernama Sultan Alief Allende dan Diva. Sebelum menceburkan diri secara penuh dalam dunia aktifis, dia sempat bekerja di sebuah perusahaan persewaan sound system dan menjual alat-alat elektronik. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang tahun 1985 ini, memulai karirnya di LBH Pos Malang. Ia masuk sebagai sukarelawan di LBH Pos Malang tahun 1989. Munir memulai seluruh kerjanya dari "basis" buruh dan petani. Sebuah kerja yang keras di tempat kumuh, miskin, gelap dan penuh ratap tangis. Tetapi di situlah rupanya dia semakin otentik komitmennya untuk Hak Asasi Manusia.

Setahun kemudian Munir pindah ke Surabaya dan menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH. Tahun 1993 Munir diangkat menjadi Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya sampai 1995. Karir Munir di LBH terus berlanjut. Usai menjabat Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya, ia dipromosikan menjadi direktur LBH Semarang. Ia hanya tiga bulan di Semarang, kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Sekretaris Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Tanggal 16 April 1996, Munir menjadi pendiri Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rejim penguasa saat itu. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Saat menjabat Koordinator KontraS namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktifis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Suharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar.

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah, dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Sebelumnya, Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home