Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, August 17, 2007

Yosepha Alomang


Yosepha Alomang -- yang lebih banyak dikenal melalui panggilan kesayangannya Mama Yosepha -- adalah seorang perempuan tokoh Amungme, Papua. Ia terkenal kaerna perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT Freeport Indonesia.

Mama Yosepha dilahirkan di Tsinga, Papua, pada tahun 1940-an. Sejak bayi ia telah menjadi anak yatim-piatu. Ia hidup bersama ayah tirinya. Di masa kecilnya, ia hidup berpindah-pindah, bersama dengan para penduduk desa lainnya, karena perintah pemerintah Belanda, dan kemudian pemerintah Indonesia.

Yosepha menikah pada awal 1970-an, setelah beberapa tahun bersekolah. Saat itu, ia telah bekerja sebagai bidan yang cekatan dan, berkat bantuan Gereja Katolik, ia bekerja menolong orang-orang lain.

Sejak muda Yosepha telah memperlihatkan tanda-tanda tentang tekadnya yang besar dan kemandiriannya. Hal ini disebabkan karena sejak bayi ia telah menjadi anak yatim dan dibesarkan di antara keluarga tirinya yang menunjukkan sikap tidak bersahabat kepadanya. Ketika suaminya gagal membayar uang maharnya sesuai dengan tuntutan adat, Yosepha sendiri berusaha keras untuk menabung dan ikut membayarnya, untuk menghindari kemarahan keluarganya.

Suami Yosepha mulai banyak minum minuman kerasl. Yosepha, yang menganggap bahwa alkohol diperkenalkan kepada masyarakat Papua untuk merusak mereka, mengadakan kampanye untuk melarang peredaran minuman keras di Timika. Suatu kali ketika Yosepha tidak ada di rumah, suaminya menjual tanah milik Yosepha agar dapat membeli minuman. Ketika anak bungsunya berusia 8 bulan, Yosepha meninggalkan suaminya, karena kebiasaannya minum-minum menghancurkan keluarganya.

Perjuangan melawan Freeport telah mendominasi kehidupan dan pekerjaan Mama Yosepha. Misalnya, anak sulung Yosepha, Johanna (lahir 1974), meninggal dunia pada 1977 karena kelaparan, ketika Yosepha bersama seluruh keluarganya bersembunyi di hutan-hutan dari pengejaran militer. Operasi militer ini dilakukan setelah ratusan rakyat Amungme memotong pipa milik Freeport, karena Freeport dianggap telah merampas tanah kepunyaan rakyat Amungme di Agimuga.

Dengan bantuan Gereja, Yosepha dan sejumlah perempuan lainnya membangun koperasi untuk memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil tanaman mereka. Yosepha merasa Freeport mestinya mendukung rakyat setempat dengan membeli bahan-bahan hasil kerja mereka, namun perusahaan itu mendatangkan bahan-bahan tersebut dari luar Papua. Para perempuan itu melakukan protes dengan menghancurkan buah-buah dan sayuran impor.

Pada 1991, Yosepha mengadakan aksi unjuk rasa selama tiga hari di bandar udara di Timika, dengan memasang api di landasan udara, sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mendengarkan keprihatinan rakyat setempat dan perlakuan buruk yang berkelanjutan terhadap rakyat Papua.

Pada 1994, Mama Yosepha ditangkap karena dicurigai menolong tokoh Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik. Bersama dengan seorang perempuan Papua lainnya, Mama Yuliana, ia dimasukkan ke sebuah tempat penampungan kotoran manusia. Ia dikeram di tempat itu selama seminggu dengan kotoran manusia setinggi lututnya.

Dua tahun kemudian, Yosepha mengajukan tuntutan perdata terhadap Freeport McMoRan Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkannya.

Ketika ia mendengar berita tentang runtuhnya bendungan Wanagon pada Mei 2000, Mama Yosepha segera kembali dari Jayapura ke Timika. Ia berhasil mengunjungi tempat kejadian dan menyaksikan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kebun, rumah, dan ternak rakyat setempat. Yosepha kembali ke Jayapura dengan sejumlah rakyat Amungme lainnya dan mengadakan demonstrasi di depan gedung DPRD.

Pada 2001, Yosepha mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999.

Kegigihan Mama Yosepha dalam perjuangannya melawan Freeport akhirnya membuahkan hasil. Perusahaan itu memutuskan untuk memberikan AS$248.000 kepada Mama Yosepha, yang digunakannya untuk membangun Kompleks Yosepha Alomang. Kompleks ini terdiri dari sebuah klinik, gedung pertemuan, panti asuhan anak yatim, dan monumen pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Pada tahun yang sama, Yosepha dianugerahi Penghargaan Lingkungan Hidup Goldman Sachs.

Meskipun Freeport telah memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Mama Yosepha, perjuangannya melawan perusahaan itu tetap berlanjut. Pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtuh di tambang Grasberg milik Freeport dan menewaskan 9 orang buruh tambang, Yosepha kembali menyerukan agar Freepot menghentikan operasinya di Indonesia, karena dituduh telah menyebabkan kecelakaan itu serta kerusakan lingkungan hidup secara besar-besaran.

Riwayat hidup dan perjuangan Yosepha Alomang ditulis dalam buku yang berjudul Pergulatan seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, yang terbit pada 2003.

Perjuangan Mama Yosepha demi hak-hak asasi manusia di Papua mendapatkan pengakuan nasional dalam bentuk Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Penghargaan Lingkungan Hidup Goldman Sachs pada 2001.

Labels:

1 Comments:

At 4:43 PM , Anonymous Anonymous said...

bukunya mama klo ga salah terbitnya 2002 dech... bukan 2003.
{emapatujuh}

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home