Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Sunday, May 11, 2008

Cerita Seorang Badjingan Dan Pelacur....

Begitu banyak hal yang sepertinya ingin aku sampaikan, semakin aku ingin menuliskan semakin seperti tercegah dengan menumpuknya prioritas hal-hal yang harus aku kerjakan.

Persiapan sebuah workshop dimana sekaligus mempersiapkan segala bahan dan data-data jauh-jauh hari yang memang dimana aku terikat kontrak di dalamnya untuk sekedar membantu teman di salah satu NGO, di mana sisi lain juga harus menghadapi buah konflik yang terjadi di dalam lembaga itu sendiri yang sedang bermasalah.

Konsolidasi sekaligus Roadshow sebuah kampanye penuntasan kasus penembakan mahasiswa dan refleksi 10 tahun reformasi, juga beberapa hal yang malas aku sebutkan satu persatu.

Konswekensi sebuah sikap yang untuk saat ini memang aku yakini untuk aku jalani.

Beberapa hal yang ingin aku tuliskan itu seperti hilang dimakan kepenatan kesibukan yang aku buat sendiri dan mau tak mau terseret di dalamnya membawanya ke arus dimana aku, ingin segera keluar dari pusaran itu, dan berteriak lega sambil tersenyum dalam dini hari tanpa beban untuk sesuatu yang harus dikerjakan.

Satu hal yang masih membekas, dan seperti hutang kalau tidak aku tuliskan dimana aku menemukan sebuah sisi lain kisah cinta yang sampai saat ini aku malas mendefinisikan.

Kenapa?

Selalu ada hal lain yang tidak bisa aku tebak di mana sisi itu muncul.

Mungkin aku terlalu bebal untuk mengerti itu, ataukah karena sudah sedemikan ter-hegemoninya cara pandangku dari hujaman-hujaman media sehingga aku tidak berkutik untuk berkata tidak pada sebuah dominasi.

Ya, sebuah kisah yang sedianya selalu aku sampaikan seremeh temeh apapun kisah itu, karena aku tidak punya teman yang aku percaya untuk mendengarkan kisah-kisahku tanpa pretensi apa-apa.

Sekali lagi aku tidak percaya, bisa saja mungkin mereka mendengarkan, tapi kemudian sesudahnya memukulku dengan hujaman pernyataan di belakang dengan subjektifitas ketidak konsistenan, atau melulu melihat dari sisi pandangnya.

Akh, berbicara masalah teman saat ini aku seperti kehilangan hal yang bisa aku andalkan walaupun hanya sekedar berbagi keresahan.

Sahabat lebih tepat, hal yang berharga mungkin saat ini jika aku temukan.

Ketika aku mendengar kabar beberapa bulan lalu untuk seorang sahabatku meninggal dan hanya runtutan kenangan yang membekas pada sebuah pertanyaan berkelanjutan tidak ada seorang yang tulus sepertimu untuk saat ini , sobat…

Sebuah beban berat ketika tidak sempatnya aku menjenguk dalam sakitmu sampai ajal menjemputmu, beralasan kapan-kapan bertemu ketika sedikit senggang waktuku.

Aku kemudian berfikir, untuk apa aku mencari teman baik ataupun sahabat jika aku sendiri pun belum bisa melakukan hal itu untuk orang lain, bahkan untuk sahabatku sendiri.

Sampai berita kematiannya aku terima.

Terdiam sesaat aku menuliskan ini, untuk merenung dan tak terasa terbawa dalam lamunan sebuah kesimpulan betapa tidak tahu berterima kasihnya aku ini.

Dan, kembali lagi pada sebuah kisah cinta tadi yang ingin aku sampaikan.

Sebuah ketidak keterdugaan, untuk malam itu.

Untuk seorang perempuan yang membicarakan rasa sayang, yang terpatri dalam hati, begitu kau menjelaskan.

Terdiam aku mendengarkan penjelasanmu sembari sembab air matamu menetes.

Aku katakan, paling tidak bisa aku melihat seorang perempuan menangis hanya untukku.

Apa yang kamu lakukan mengingatkan, tangisan ibuku mencegah pukulan bapakku kalau dia sedang marah berbekal aroma akohol, ketika aku menantangnya berkelahi,

”Kalau berani lawan aku, Anjing....!!!” sekedar teriakan kemarahanku, sisi lain memancing amarah bapakku supaya tidak meneruskan dia memukul Ibuku.

Ya, malam itu.....

Ketika aku ingin bergegas pergi sembari sedikit berpesan, bahwa aku mulai kurang percaya dengan apapun yang berbau kasih sayang, walaupun aku belum bisa menceritakan betapa dalam hati ini bergemuruh penolakan dan pengiyaan sebuah naluri alamiah itu.

Aku bodoh dan bebal sekaligus aku bertanya dalam hati, apakah aku memang sudah sepenuhnya menjadi binatang..???

Erat tanganmu mencegahku, sembari tangisanmu semakin menjadi dan tak berkutik ketika aku meneruskan langkah ingin pergi.

Dalam isakmu, sedikit suaramu tertahan, dalam matamu yang sembab memandangku tajam...

Kau berucap....

”Apakah kau tidak mau, hanya karena aku seorang pelacur..????”

Dalam dekapanmu yang aku rasakan semakin erat.

Tak banyak yang bisa aku katakan, selain aku hanya bisa menjawab...

"Apapun itu, kamu tetap manusia.."

Labels:

1 Comments:

At 8:42 PM , Blogger panggil saja mawar___ said...

tadi gak sengaja nemu blog ini,
boleh tanya ya..

Semua dipostingan ini apa beneran kidah kamu??

aku bacanya hampir gak ngedip
kayak feel-nya bisa aku rasain
tapi orang cuma bisa bilang gitu padahal mereka gak bisa
mereka bukan kita..

beberapa bulan yang lalu aku juga kehilangan seorang sahabat,seorang guru,orang yang paling kurindu,tapi aku gak sempet liat dia waktu sakit.
yang aku tau saat dia udah ninggalin aku untuk selamanya...

jadi untuk yang satu itu aku tau gimana rasanya,
tau banget...

kayaknya bakalan sering-sering mampir kesini...

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home