Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, July 13, 2007

(Mohon Maaf Untuk Kenyamanan Anda, tulisan masih amburadul dan Belum Diedit)


Aku Bukan Mahasiswa...

Pada mulanya memang tidak ada pembedaan yang berarti antara apa yang mendukung secara sepenuhnya ataupun hanya untuk, meyakinkan khalayak bahwasanya hanya ada sesuatu yang patut di dukung ala kadarnya.

Adalah waktu juga yang akan menentukan sejauh mana komitmen awal dari sebuah janji “kampanye”.

Sungguh tidak etis mengatakan bahwasanya, dari hasil yang sekarang, ketika dirasa memberatkan, mengatakan bahwa kami dulu tidak ikut memilih, makanya sekarang tidak ada tekanan moral bagi kami untuk menentang kebijakan tersebut.

Terlepas dari memilih atau tidaknya, atau bahkan mendukung atau tidaknya dengan keputusan yang ada.

Bahwasanya dikatakan, adalah lingkungan kita adalah lingkungan “demokratis”

Untuk dengan sepenuhnya mendukung siapapun nanti yang akan menduduki “singgasana”.

Dan kembali lagi, ternyata pembuktiannya adalah jauh dari sebuah aturan main dari sebuah wacana dari “demokrasi” itu sendiri.

Mungkin satu yang cukup memalukan adalah tidak adanya pembelajaran dari sebuah wacana sejarah masa lalu.

Walaupun sedikitnya juga kita masih riskan dengan sejarah kita sendiri apakah itu sebenarnya yang terjadi pada masa itu.

Ada hal yang cukup menarik adalah ketika adanya upaya untuk selalu mengganti yang baru dengan adanya sebuah permasalahan baru, padahal itu adalah sebuah pembuktian dari seberapa jauh kinerja rejim yang ada dalam hal menanggulangi permasalahan yang ada.

Kalu begitu adanya yang terjadi adalah sebuah pergantian satu blok dengan blok lain tanpa adanya nilai lebih yang ada, dan begitu seterusnya.

Memang tanpa disadari,

Dan itu sudah terjadi mungkin ketika belum menyadari itu dan serkarang ketika sudah menyadarinya, pun kita masih enggan untuk melakukan suatu langkah dalam rangka sedikitnya merubah satu langkah ke depan saja, guna sekedar perbaikan ala kadarnya.

Ada baiknya memang selalu bercermin pada satu langkah lalu yang sekiranya, membuat kita agak mengingatkan untuk kembali berhati-hati.

Ya….dan agaknya memang kita sulit lepas dari sebuah tatanan status quo, yang selama ini mengikat baik dalam hal tradisi, berpikir, ataupun untuk sekedar “bermesraan” dengan sistem ideologi yang kita anggap sebagai tuhan tunggal dalam kehidupan kita.

Dan lagi, sudah lumrah kita menganggap sebuah kebenaran itu adalah hasil dari persepakatan dari sebuah suara terbanyak, dan tidak lebih.

Dalam artian, kita tidak akan banyak bertanya apakah itu sebuah kebenaran ataukah hanya sebuah pembenaran

Kita sering berhenti dalam tahap vonis suara terbanyak tidak lain.

Kita juga mungkin lupa apakah suara terbanyak itu berdasarkan dari sebuah kesepakatan dari orang-orang yang mengutamakan kebenaran atau hanya pembenaran saja.

Memang kita semuanya tahu bahwasanya kekuatan tertinggi adalah suara mayoritas itu sendiri.

Padahal mungkin juga anda sadar bahwa kebenaran adalalah suatu hal yang relative, untuk diungkapkan, katanya…….

Dan memaksakan itu menjadi sebuah kebenaran umum yang seharusnya diterima oleh semua yang ada tanpa terkecuali.

Lucu memang kalau kita melihat dari sisi ini yang agaknya tidak akan habis dibahas dalam berbagai seminar ataupun diskusi.

Di lain pihak” mengatakan tidak akan berjalanya dari sebuah kebenaran itu tanpa adanya paksaan dari pihak pembuat kebenaran itu untuk mengaplikasikanya kepada publik.

Dan “mereka” mengatakan kepada publik tentang kebenaran itu adalah sebagai satu yang seharusnya dijalankan bersama untuk nmenghasilkan satu sistam masyarakat yang adil merata, katanya…..

Yang lumrah “mereka” mengatakan itu sebagai peraturan bersama yang sewajarnya memang sifatnya memaksa.

Dan mungkin yang lebih kita kenal sebagai peraturan publik.

Dan itu sudah menjadi semacam satu cekokan di dalam hidup bermasyarakat kita.

Tetapi yang sering menjadi masalah adalah tidak meratanya satu “peraturan” itu sendiri kepada semua lapisan masyarakat.

Mungkin kita lebih banyak mendapati satu “peraturan” yang timpang, baik dalam hal pelaksanaan, maupun dalam sangsi yang dilimpahkannya.

Ya…mungkin kalau kita peduli dengan rangkaian peristiwa di dalam negeri ini, sedikitnya ada satu permasalahan yang kadang malah korban pun menjadi korban,

Ibarat pepatah mungkin sudah jatuh tertimpa tangga.

Memang sulit kalau urusannya sudah berkaitan dengan militer.

Dan kita juga bisa mengamati, dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan militer, hanya beberapa gelintir saja yang urusanya bisa dikatakan “beres”.

Kita juga semua menyadari kiranya, berapa banyak aktivis kemanusiaan yang mendapat teror baik itu fisik maupun maupun mental yang mereka dapatkan untuk mengurusi satu masalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat kecil versus militer.

Mungkin juga yang kita sesalkan adalah ketika militer sudah menjadi semacam body- guard bagi mereka yang sanggup membayarnya, dan siapa lagi kalau bukan kaum “borjuis” negeri ini semacam konglomerat yang kaya mendadak dapat proyekan penggusuran tanah rakyat yang mengatasnamakan sebagai satu langkah pembangunan, atau kalau tidak mengatakan sebagai konswekensi dari sebuah tata ruang kota.

Berapapun banyak alasan yang diungkapkan, tetap pertanyaanya adalah dimana sisi kemanusiaan yang katanya dijunjung tinggi di negeri ini, yang semua kepentingannya diperuntukkan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyatnya.

Dan pertanyaanya lagi adalah kemakmuran rakyat yang mana, jika mereka selalu menjadi tumbal dari sebuah pembangunan yang ada.

Melihat itu semua bukan tidak ada sebuah proses untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik.

Dan itu semua berjalan dengan seiringnya waktu yang berjalan, dan bukannya tidak ada perubahan yang terjadi.

“Cuma yang terjadi adalah kita masih belum bisa untuk melahirkan seorang pemimpin yang mampu memimpin negeri ini walaupun perubahan yang ada berjalan walaupun tidak semulus yang diinginkannya”, begitu kalau seorang Pramoedya Ananta Toer berungkap.

Yang menarik disini adalah sebuah roda pergerakan menuju satu perubahan yang dimotori oleh pemuda ataupun mahasiswa sebagai penggeraknya.

Ada yang menarik kalau berbicara tentang mahasiswa itu sendiri, yang menarik adalah

Ketika kita melihat dari perjalanan sejarah “kaum intelaktual” ini, ketika mereka “menggugat” rejim-nya Soekarno sampai akhirnya presiden Soekarno turun, dengan ditolaknya pembelaanya dalam rapat umum MPR.

Dan digantikan oleh presiden Soeharto sesudahnya. Dan juga pergantian itupun menyisakan misteri terkait dengan “Supersemar”, yang sampai sekarang menyisakan banyak pertanyaan.

Ya…..tersebut juga pada waktu itu kiranya peranan mahasiswa mewakili pemuda Indonesia, yang mungkin dari sinilah kiranya elemen mahasiswa umumnya dikenal sebagai satu motor atau lokomotif sebuah perubahan yang ada.

Baik itu secara langsung ataupun tidak langsung.

Atau lebih beken mereka dinamakan sebagai kaum intelektual yang merakyat.

Dan setelah masa Presiden Soekarno usai, yang menyisakan banyak kejanggalan dan tanda tanya.

Mahasiswa (yang menggugat Soekarno) pada waktu itu yang begitu “idealis” dengan sesuatu yang mereka usung.

Kemudian pada gilirannya memasuki jenjang yang mereka lupa akan apa yang mereka usung dulu, ketika jabatan sudah ada di tangan mereka dan segala kemudahan memungkinkan mereka untuk otomatis melupakan apa yang menjadi masalah bangsa ini

Yang mereka mungkin menyakini bahwasanya itu adalah satu perjuangan panjang menuju masyarakat Indonesia yang adil dan merata, atau yang sering kita dengar sebagai sebuah masyarakat madani, katanya…….

Menyadari itu adalah sebuah perjuangan panjang yang tentu saja membutuhkan banyak pengorbanan, ada baiknya mungkin mereka berfikiran “realistis” dalam menjalaninya.

Itulah satu tahapan, yang kemudian menyusul bahwa mereka yang “mantan mahasiswa idealis” itu, ditentang kembali oleh kaum penerusnya yang juga sama-sama berpredikat “mahasiwa idealis”.

Masih tetap sama, membicarakan tentang sesuatu yang “idealistis”, saya sendiripun sebenarnya bingung tentang apa “idealis” itu sendiri.

Sebenarnya idealis atau tidaknya itu ditentukan dari apanya, lantas bagaimana yang idealis itu, dan untuk apa, atau apa untungnya sebenarnya idealisme itu dimiliki.

Dan mungkin anda mempunyai jawaban yang lebih tepat untuk itu.

Dan itulah kembali lagi kita bicara soal sejarah.

Sebenarnya tulisan ini bukan untuk membahas masalah sejarah.

Tetapi mau tidak mau kemudian “katut” juga.

Lantas kalau begitu apa yang sebenarnya mau ditulis……

Entahlah……. mungkin hanya serentetan kepenatan pikiran berkumpul tanpa ada literatur yang memadai, selain hanya mengandalkan apa yang diketahui oleh penulis yang banyak kurang membaca.

Hanya serentetan kebingungan yang diakibatkan oleh kebodohan penulis.

Berangkat dari sebuah kebodohan inilah penulis mencoba “berkelakar” yang sebenarnya adalah permasalahan yang tidak begitu penting, yaitu tadi….. tentang masalah “idealis”.

Dan ketika saya membaca disalah satu jurnal pers mahasiwa terbitan Bandung di salah satu kolomnya, ada uraian yang mempertanyakan tentang “akan sampai kapan sebuah idealisme itu akan kau pakai kawan…… apakah ketika kau masih berpredikat sebagai mahasiswa saja.

Dan sepertinya sebuah “idealisme” itu sendiri membutuhkan sebuah pertanggungan-jawab yang tidak sepele, begitu yang bisa saya tangkap dari uraian itu.

Dan entah “idelisme” yang mana.

Tetapi teman saya bilang, “idealis, ya idealis….. tetapi harus realistis”.

Ya, sepertinya itu konteks mahasiswa pada umumnya, ketika membicarakan sebuah wacana.

Dan itupun hanya segelintir kiranya yang peduli tentang kesemuanya.

Di samping kebanyakan dari mereka lebih suka untuk mengekspresikan diri di kampusnya sebagaimana, “borjuis-borjuis kecil”.

Karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk mendapat predikat “mahasiswa” itu sendiri

Di jaman wajib pendidikan sekarang ini.

Tetapi maaf, saya bukan mahasiswa……

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home