Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, July 13, 2007

Merdeka …???

Tidak selamanya rasa muak itu negatif, dari rasa muak mungkin bisa membawa hal yang positif setidaknya itu bisa membuat dorongan dalam rangka sebuah pengemasan menarik kepada yang “kontra” dari kemuakan itu sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi, dewasa ini yang terlihat di berbagai media masa ataupun yang kita lihat sendiri.

Jujur, mungkin lebih banyak rasa muak yang ada daripada suatu kepuasan yang benar-benar memang memuaskan.

Negative thinking kah………????

Bisa benar, itu dikatakan seperti itu, karena memang adalah sesuatu yang melihat dari kacamata yang negative saja, atau yang buruk saja.

Tinggal masalahnya adalah bagaimana jika keadaan itu memang benar-benar buruk dalam artian bukan hanya dari sisi pelihat atau sisi yang melihat tetapi karena adanya realita yang memang tidak bisa dikatakan baik atau belum sesuai.

Rasa muak melihat korupsi yang bukan menjadi rahasia umum lagi, rasa muak mendengar janji-jani petinggi negeri ini yang mencanangkan tentang penghematan tetapi itu dikatakan bersamaan dengan hajatan besar-besaran salah satu anggota keluargannya, pun dilakukan di “istana” Bogor lengkap dengan gemerlap pesta dan riuh renyah kaum berduit yang begitu menusuk saudara-saudara kita yang sedang mengalami gizi buruk atau lebih tepatnya penghalusan dari wabah busung lapar.

Muak melihat dan mendengar lagi tawaran dari anggota wakil rakyat yang mencoba menaikkan gajinya, eh maaf….kenaikan tunjangan maksudnya….

Muak menanti sebuah kepastian tentang kasus-kasus yang begitu jelas dan lama kelamaan memudar seiring berjalannya waktu yang mencekoki dengan racun lupa ingatan tanpa kita sadar bahwa itu telah terpetieskan, atau telah ada islah katanya, dari pihak yang bersangkutan.

Tak jelas mana yang islah dan mana yang diislahkan (baca memaafkan).

Sesederhana seperti itukah…..????

Lantas kalau begitu, ketika kita melihat tidak semua rasa muak yang ada membawa sebuah “keburukan”, mungkin begitu juga dengan pernyataan maaf atau memaafkan bisa juga tidak seutuhnya baik……

Adalah sesuatu yang ada dan tidak menjadi semacam haluan yang yang paten, seperti halnya menjadi harga mati dari sebuah identintas.

Ya, harga mati sebuah identintas……..seperti halnya ketika identintas melekat pada kaum “pimpinan agama” apakah lantas berarti juga otomatis menjadi manusia yang “agamis”, peka pada keadaan sekitar, terasah nuraninya…….

Atau juga yang melekat identintas bagi diri mereka yang katanya wakil rakyat, apakah menjadi jaminan pula mereka benar-benar merakyat.

Ya…..satu ungkapan ( merakyat ) yang jarang kita dengar lagi gaungnya.

Mungkin lebih tenar dengan kata rakyat itu sendiri daripada kata merakyat.

Mengapa…..??????

Karena lebih mudah diucapkan dan dimanipulasi……

Bukan berarti kata merakyat tidak mudah diucapkan, sebab ini akan muncul dengan sendirinya dari rakyat itu sendiri ketika melihat wakil rakyatnya benar-benar merakyat…….

Begitu carut marutnya setiap permasalahan yang ada, kadang membuat semacam suatu rasa apatis bahwasanya apakah “republik” akan bertahan lama, bertahan lama dalam menjadi republik, bertahan lama eksis, bertahan lama dalam mengemban suatu amanat kemerdekaan, yang sampai saat ini entah kemerdekaan yang seperti apa.

Dan apakah juga harus berjalan suatu logika bahwasanya ketika kita ingin merasakan rasa sehat harus sakit dahulu.

Begitu juga apakah harus merasakan sebuah kemerdekaan kita harus merasakan sakitnya dijajah.

Yang lebih ironis adalah ketika sekarang dijajah dan kita merasa merderka.

Merasa berdaulat, adil makmur, berperadaban, bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bangsa yang gemah ripah, loh jinawi, dan segala tetek bengek lainnya, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ya…. kita dijajah, tapi selalu memperingati hari kemerdekaanya, artinya mungkin kita merasa bahwa kalau dijajah adalah secara “frontal” dengan menggunakan senjata dan menguasai tempat tertentu.

Berarti kalau kita punya utang luar negeri yang besar itu bukan bentuk sebuah penjajahan, kalau kita menjadi korban mode dan gaya hidup itu juga bukan bentuk sebuah penjajahan.

Sebab apa….????

Karena kita sudah memproklamirkan tentang kemerdekaan itu sendiri…..

Kapan……..?????

Ya, dulu pas tanggal 17 Agustus 1945, bahkan ada lagunya segala malah…. Ada juga satu ungkapan di jaman sebelum kemerdekan itu sendiri mengenai

“merdeka atau mati” atau ungkapan-ungkapan lain mengenai betapa mahal dan berharganya dari sebuah kemerdekaan itu.

Dan setelah merdeka, bahkan sampai 60 tahun sekarang ini

Ternyata banyak menampilkan fenomena yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negeri yang merdeka.

Sebuah paradoks setiap kali peringatan kemerdekaan itu sendiri selalu diisi dengan kegiatan ala “takeshi castle”, yang begitu membudaya di masyarakat kita.

Semacam kegiatan bak perlombaan anak-anak yang hanya memperebutkan hadiah “ecek-ecek”.

Apakah memang makna dari sebuah kemerdekaan bisa diminiaturkan demikian.

Apakakah memang makna perjuangan bisa tercerminkan dari hal yang demikian.

Mungkin ibaratnya seperti sebuah “pelarian dari masalah”, ketika ternyata kemerdekaan itu sendiri tidak atau belum sesuai dengan kehendak rakyat yang memimpikan sebuah kemerdekaan yang dapat terasakan.

Kemerdekaan dalam hal pendidikan, kemerdekaan dalam hal kesehatan, kemerdekaan dalam hal menentukan nasibnya.

Kemerdekaan untuk tidak digusur, kemerdekaan dari busung lapar, kemerdekaan dari korupsi yang menjadi “trade mark” negeri ini.

Ibaratnya mungkin tidak jauh dengan burung onta, yang mempunyai senjata pamungkas ketika dia merasa terancam dengan mencelupkan kepalanya ke dalam lumpur, dan merasa aman dari bahaya musuh.

Padahal secara tidak sadar, musuh dengan mudah mengintainya dan siap menerkam setiap saat.

Dan masihkah terus kita memekikkan dengan lantang…..

Merdeka…..!!!!!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home