Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Monday, July 02, 2007

Resensi "Gerakan Rakyat Melawan Elite"

Judul : Gerakan Rakyat Melawan Elite

Penulis : Munafrizal Manan

Penerbit : Resist Book Yogyakarta, Januari 2005

Tebal : xviii + 268 halaman

Sejak dulu kursi kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersih. Mereka yang duduk di sana selalu berlomba dengan melakukan persekongkolan dan kelicikan, agar tumbuh cepat menjadi kelompok istimewa.

“Rakyat” hanyalah sepenggal kata yang penting untuk bahan pidato.

Itulah sepenggal ungkapan dalam buku Gerakan Rakyat Melawan Eite , yang ditulis oleh Munafrizal Manan.

Buku yang semula merupakan tesis di program Pascasarjana Ilmu politik Universitas Gajah Mada (UGM).

Menuturkan secara gamblang dan detail, bagaimana gerakan rakyat itu sendiri. Namun bagaimanapun juga ibarat pepatah, semut pun kan marah bila diganggu.

Rakyat pun apalagi kalau terus-menerus dijejali dengan program-program yang kurang ada realisasinya, atau mereka hanya dijadikan sebagai objek, pasti akan melakukan perlawanan.

Dan inilah bahasan mengenai buku Gerakan Rakyat Melawan Elite.

Gerakan rakyat yang digambarkan dalam buku ini adalah proses perjalanan pergerakan rakyat pada masa reformasi, ketika kekuatan rakyat berhasil menumbangkan tirani kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun.

Pada masa transisi inilah, penulis menyebutkan bahwa pada waktu ini merupakan pertemuan dua keadaan dalam satu titik ujung batas kesabaran kulminasi kekecewaan terhadap pemerintah orde Baru di satu sisi, dan momentum yang tepat untuk menumpahkan energi resistensinya di sisi lain

(hal. 39).

Bahkan di dalam buku ini juga menggambarkan bagaimana lahirnya Orde Baru, sehingga mampu menjadi rejim dalam kurun waktu kurang lebih 32 tahun.

Yang menyisakan banyak misteri.

Menurut Munafrizal Manan, lahirnya Orde Baru, diawali dengan peristiwa berdarah 30 September 1965, berlanjut dengan mengantunginya surat perintah sebelas maret (Supersemar), Soeharto membubarkan PKI yang berlangsung “kisruh” dengan pembantaian masal terhadap orang-orang yang diduga terlibat PKI.(hlm. 40).

Rejim Orba yang berpatner dengan militer tampil menjadi kekuatan yang tidak ada tandingannya.

Dan selalu gencar melancarkan represi terhadap siapa saja, untuk menjaga kelanggengan dan kekuasaannya.

Dan memang menarik sekali membicarakan tentang apa yang tadi disampaikan di atas tadi yaitu “rakyat”, atau lebih afdolnya adalah rakyat miskin.

Dan itulah kiranya yang masih kita banggakan dan menjadi aset terbesar di dalam negeri ini, yakni rakyat miskin.

Partai apapun di Indonesia ini pasti mengembel-embeli misi dan visinya dengan mengangkat tema rakyat miskin sebagai isu utama.

Sebagai bahan “dagangan” mereka agar partainya laku di pasaran, sebab tidak ada lain karena konsumennya adalah rakyat miskin itu sendiri.

Karena melalui rakyat miskin ini partai, LSM, aktivis, parlemen, pengusaha, pemerintah, ulama

Mendapat “lapangan kerja” dari sini

Bahkan seorang Eko Prasetyo pun mendapat ilham kiranya dari rakyat miskin ini untuk menulis karyanya tentang seri orang miskin.

Apalagi kalau kita mencoba bertanya siapa orang paling sabar di Indonesia ini ?

Jawabannya tidak lain adalah orang miskin.

Begitu sabarnya mereka menyaksikan ketimpangan yang ada.

Begitu maklum dan sabarnya mereka melihat koruptor lolos dari vonis hukuman, atau yang tiba-tiba sakit ketika persidangan akan dilakukan.

Dan mereka tetap saja bersabar ketika kenapa sekolah, listrik, BBM, hingga biaya rumah sakit, begitu mahal.

Dan secara pribadi saya setuju mereka disebut sebagai “pahlawan” tanpa tanda jasa mendampingi predikat guru yang sekarang ini masih resah dengan selalu berusaha untuk bisa dinaikkan gajinya.

Ya….pahlawan tanpa tanda jasa, apakah anda juga setuju…..???

Karena apa…??

Karena merekalah yang selama ini mau berkorban, walaupun dengan keterpaksaan.

Merekalah yang selama ini begitu “ntrimo” memilih berjualan di trotoar ketimbang di dalam mall-mall besar, dengan resiko mereka harus terusir bila suatu saat ada rombongan yang mengatasnamakan sebagai kelompok penjaga keasrian kota, di bawah naungan pemda.

Memilih mengamen atau sebagai pemulung ketimbang merampok.

Karena rakyat miskin pulalah, pemerintah bisa meminjam hutang walaupun tidak tahu akan bagaimana mengembalikannya, dan juga digunakan sebagai proyek politik bagi siapa saja yang bisa mengeruk keuntungan dari pengatas namaan rakyat miskin ini.

Dan di dalam buku ini di jelaskan tentang perjalanan rakyat Indonesia yang lebih banyak disoroti

Ketika masa transisi peralihan rejim Soeharto kepada pemerintahan sesudahnya.

Yang timbul akibat sedikitnya kekecewaan rakyat melihat jalannya pemerintahan era Orde baru ini.

Dan juga dijelaskan pula dua era transisi sesudah Orde baru ini runtuh.

Eranya presiden Habibie, dan Abdurahman Wahid.

Termasuk yang disoroti dari pemerintahan Abdurahman wahid yang banyak mengeluarkan statemen controversial dan hobi keluar negeri (hal. 142-143)

Dan buku ini juga, dilengkapi pengantar oleh Dr. Denny J. A, seoerang ilmuwan politik, lulusan Ohio University (2001) Amerika Serikat, dalam pengantarnya berdasar studi perbandingan dengan Negara lain yang juga mengalami transisi ke demokrasi, Indonesia kini sedang berada di simpang jalan.

Di hadapan kita, sekarang terhampar tiga jalan yang setiapnya memiliki konsekuensi yang berbeda.

Jalan pertama, membawa kita menuju demokrasi yang terkonsolidasi dan damai.

Jalan ke dua membawa kita memutar arah dan kembali ke sisten lama, secara cepat ataupun lambat.

Sedang jalan ketiga membawa kita kesana-kemari tak tentu arah,dan diramaikan pula oleh konflik horizontal.

Apakah kita sedang menuju jalan pertama, ke dua, atau ke tiga, sangat tergantung pada bagaimana kita sebagai bangsa,menjawab tiga tantangan ini.

Pada kesimpulan akhir buku ini pun disebutkan, bahwasanya sangat penting untuk dikemukakan bahwa dalam hal ini bertolak dari kurun waktu dan konteks dinamika politik pada era transisi yang masih belum tuntas.

Penulis buku ini pun menyebutkan dalam bahasan ini kita membatasi periodesasi era transisi tersebut hanya dalam waktu 1998-2001.

Artinya studi ini dilakukan pada saat era transisi masih berlangsung dan bersifat labil.

Tipikal era transisi adalah ketidak pastian, karena itu tidak mungkin dibuat konklusi final terhadap fase yang tidak pasti, labil, dan masih berlangsung ketidak pastian itu sampai sekarang.

Di sini saya selaku rakyat biasa pun, yang kurang begitu paham dengan masalah perpolitikan yang ada,dan hanya bisa melihat, mendengar, dan merasakan setiap kejadian yang ada.

Dengan diiringi keprihatinan melihat “pelaku-pelaku “ jalannya demokrasi yang ada hanya bisa saling menyalahkan bahkan sampai taraf gontok-gontokan, dengan alasan yang sama atasnama rakyat, atas nama wong cilik.

Rakyat yang mana dan wong cilik yang mana pula, ketika satu sidang menghabiskan biaya milyaran rupiah.

Ya, berjuang atas nama rakyat …..dan membela apa yang menjadi haknya, termasuk permasalahan yang terakhir ini adalah mengenai kenaikan BBM.

Sebelum kenaikan BBM inipun, “mereka” sudah dulu meminta kenaikan gaji sebesar 50%, dari gaji semula yang ada.

Dan terus berkelakar, untuk rakyat……!!!!!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home