Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, July 13, 2007

Suara Terbanyak

Terlalu mudah memang untuk menilai segalnya dari penilaian luarnya saja.

Atau kadang hanya menggunakan itu sebagai vonis pemberlakuan atas nama sebuah kebenaran, katanya.

Memang sulit untuk membedakan mana kebenaran dan mana yang hanya pembenaran saja.

Tentunya dengan sebuah kebenaran umum pula bahwasanya kebenaran adalah nilai suatu yang relative, dan juga dengan ditasbihkannya bahwa suara mayoritas adalah suatu kebenaran tertinggi. Terlepas lagi apakah suara mayoritas itu sendiri adalah suatu kebenaran hakiki.

Seiring dengan pertanyaan itupun, kiranya menjadi unek-unek penulis dalam mencurahkan segala isi hati yang ada di dalamnya.

Tetapi sedikitnya ada yang menarik untuk disimak, tentang sebuah cerita klasik, yang penulis baca dari buku cerita anak-anak.

Satu cerita yang biasanya di dongengkan oleh orang tua dulu kepada anaknya, ketika menjelang tidur.

Yang belum banyak hiburan-hiburan yang tidak menghibur, yang sering kita saksikan

Dalam layar kaca, terutama sinetron-sinetron kita yang banyak menampilkan kehidupan cengeng dan cengengesan.

Ceritanya begini;

Ada seorang petani yang mempunyai seekor domba yang bagus.

Ia amat sayang pada dombanya, ia senang bermain-main dengan domba itu dan kerap menimang-nimangnya, bak seeorang bayi saja.

Pada waktu domba itu makan, sang petani suka memberinya rumput dengan tangannya.

Suatu ketika, terjadilah krisis moneter berat yang berkepanjangan di negerinya.

Untuk menyokong hidupnya sendiri dan keluarganya, terpaksalah petani itu menjual harta bendanya.

Meski harta bendanya sudah habis, namun krisis moneter ternyata belum teratasi.

Keadaannya bukan makin membaik, sebaliknya malah makin memburuk.

Dengan amat berat hati, akhirnya petani itu mengambil keputusan menjual dombanya.

Rencana petani untuk menjual dombanya ternyata terdengar oleh tiga penipu.

Mereka lalu menyusun rencana untuk memperdayainya guna mendapatkan dombanya.

Keesokan harinya, petani itu memanggul dombanya di bahunya untuk dijual ke pasar.

Belum satu kilometer ia berjalan dari rumahnya, penipu A mendekatinya dan berkata.

“Hai, pak,” kata penipu itu.

“Mengapa kamu memanggul anjing itu ke pasar?”

Petani itu memandang penipu itu lalu berkata:

“Enak saja! Domba dikatakan anjing. Ini bukan anjing, ini domba yang bagus.

Aku akan menjualnya ke pasar.”

Meski tak percaya akan kata-kata penipu A itu, namun orang itu sudah mulai ragu-ragu akan binatang yang dibawanya.

Maka setiap jalan beberapa langkah, ia menurunkan dombanya dari pundaknya dan mengamat-amatinya.

Tak lama kemudian, penipu B muncul di jalan dan berkata kepada petani itu:

“Alangkah bagusnya anjingmu, akan kau bawa kemana anjingmu itu?”

Mendengar kata-kata penipu B itu, petani itu menurunkan domba dari bahunya dan mengamatinya lebih dekat lagi.

Sesudah memanggul kembali dombanya, orang itu berkata:

“Sembarangan saja !” jawab petani. “Ini bukan anjing, ini domba.

Aku akan menjualnya ke pasar.”

Beberapa puluh meter sebelum sampai di pasar, penipu C menghentikan jalannya dan berkata kepadanya:

“Pak, aku tidak yakin bahwa bapak akan diperbolehkan membawa anjing masuk ke dalam

Sangat kebingungan dan tidak yakin lagi akan binatang yang dibawanya, petani itu menurunkan dombanya dan meletakkannya di jalan.

“Jika tiga orang mengatakan bahwa hewan yang aku bawa ini anjing dan bukan domba, pastilah mereka benar, hewan ini pasti anjing.”

Lalu pergilah petani itu dengan meninggalkan domba itu di jalan, dan pulanglah ia.

Seandainya saja sebelum pulang petani itu menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, maka ia akan melihat tiga penipu yang membawa pergi dombanya ke sarang mereka.

Itulah satu cerita klasik, yang menarik sebagai bahan pertimbangan kita semua, agar kiranya kita tidak mudah terjebak dalam suatu wacana “suara terbanyak”.

Dan mungkin hikmah yang dapat kita ambil adalah, pendapat mayoritas belum tentu benar, bahkan mungkin digunakan untuk meniadakan kebenaran dan menipu.

Dan sepertinya itulah wacana yang sering kita dengar akhir-akhir ini mengenai kebijakan-kebijakan wakil rakyat kita di senayan sana.

Seperti mungkin kebijakan kenaikan BBM, dan ditariknya subsidi yang ada di dalamnya.

Karena katanya dengan dinaikkan harga BBM sedikitnya kesejahteraan rakyat akan meningkat walaupun hanya beberapa persen.

Sebab selama ini subsidi BBM hanya dinikmati dari kalangan menengah ke atas.

Katanya itu dulu, dan sekarang kenaikan harga BBM akan diimbangi dengan kompensasi subsidi pendidikan dan kesehatan.

Tapi yang terasa sekarang adalah harga-harga naik sementara tidak tahu kapan kompensasi itu akan dijalankan.

Ya…mungkin saya sebagai rakyat biasa tidak tahu bagaimana mekanisme kinerja berjalannya subsidi itu sendiri.

Dan katanya semua kebijakan yang ada pun untuk rakyat seutuhnya.

Sampai-sampai mereka kisruh di DPR pun hanya karena membela rakyat.

Masing-masing sama mengatasnamakan rakyat.

Dan hasil apapun keputusan yang ada pastilah nantinya berdasarkan hasil suara terbanyak mereka, yang sebelum naik BBM sendiripun mereka sudah meminta kenaikan gaji sebesar 50%.

Dan masihkah ada harapan kiranya untuk mereka tidak mementingkan suara terbanyaknya.

Melainkan suara banyak rakyat Indonesia seperti penulis sendiri yang jangankan meminta kenaikan gaji, berusaha menaikkan jenjang pendidikan saja ngos-ngosan. Dan masihkah anda selalu percaya dengan suara terbanyak yang ada, apapun konteksnya.

Lantas berakhir dengan seruan setuju……!!!!

“Karakter adalah kekuatan terpenting yang menentukan nasib bangsa.

Dan karakter yang kuat mustahil dimiliki mayoritas” (M. IQBAL)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home