Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Saturday, August 04, 2007

Hak Asasi Binatang 2


Hak Asasi Binatang 2

Seno Gumira Ajidarma

Sebetulnya saya tidak tahu banyak tentang binatang dan tampaknya juga tidak tahu terlalu banyak tentang manusia. Namun, saya mempunyai gagasan bahwa sikap kita terhadap binatang mencerminkan diri kita sebagai manusia. Bisakah diterima, misalnya, seseorang yang kita kenal sebagai pembela hak asasi manusia, kemudian kita lihat menendangi seekor anjing, melulu karena dalam anggapannya (tanpa memeriksa dan merenungkan secara cerdas sumber apa pun) bahwa anjing itu binatang yang najis?

Katanya manusia itu makhluk yang mulia. Lebih mulia dari binatang, bukan sekadar karena berotak lebih baik, melainkan karena otak tersebut dipersembahkan kepada kemuliaan perilaku dan budi pekerti di dalam dunia -termasuk tentunya dalam sikap terhadap binatang.

Namun, itulah masalahnya. Apakah yang telah terjadi dengan flora dan fauna di bumi semenjak manusia sadar atas keberadaan otaknya untuk menggali segala kemungkinan di dunia dalam hidupnya? Itu bisa disebut Pencerahan, itu bisa disebut Modernisasi, tetapi saksikanlah akibatnya.

Dengan segala kelebihannya, manusia ternyata belum lebih baik daripada binatang. Bahkan dengan segala kelebihannya itu, sampai detik ini, manusia masih menghalalkan pembunuhan - yang menjadi lebih parah karena mengatasnamakan segala kebaikan, dalam kesukuan, kebangsaan, bahkan sampai agama. Harapan macam apakah yang masih sahih kita miliki dalam dunia semacam ini? Bagaimana caranya kita menjadi lebih baik dari binatang, yang memang tidak pernah disalahkan jika saling membunuh demi kelanjutan hidup?

Sudah waktunya kita mempelajari hak asasi binatang, karena menurut saya sedikit banyak akan menunjuk dan mempersoalkan hak asasi kita sebagai manusia juga, terutama bagaimana kita telah mempergunakan hak tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya, binatang sering dijadikan eksperimen, mulai dari uji coba obat sampai pesawat luar angkasa. Dalam uji coba itu binatang diandaikan tidak apa-apa kalau sakit, menderita, dan ujung-ujungnya mati. Pada abad XIX di Inggris berlangsung oposisi atas percobaan-percobaan semacam itu, sejauh jika binatang tersebut tidak disuntik antirasa atau anestesi. Sekarang, tanpa maupun dengan anestesi, pemanfaatan binatang untuk uji coba apa pun, ilmiah maupun komersial, ditolak - sampai ada pernyataan dalam salah satu merek botol shampoo, "Tidak Menggunakan Binatang Apa Pun untuk Uji Coba".

Bukan hanya untuk eksperimen, tetapi untuk diternakkan, dipelihara, dan dimasukkan kebun binatang pun, kesahihan manusia melakukannya dipersoalkan - tentu termasuk juga "hak asasi manusia" untuk menelan binatang-binatang itu sebagai makanan huenak tenan dalam peradaban nan canggih. Kita akan melacaknya sekilas pintas satu persatu.

Nah, apa persoalannya dalam memelihara binatang?

Perhatikanlah seekor jaing yang telah dibeli dengan mahal dan juga mendapat makanan jaing impor nan mahal. Makanannya tentu beres dan ia pun sangat disayangi oleh majikannya. Dipeluk, diciumi, dan mungkin saja tidurnya satu ranjang. Namun jaing ini ternyata kesepian. Kenapa? Pertama, karena jaing di negeri miskin seperti Indonesia ada yang memburunya di perkotaan, baik untuk dimakan maupun sekadar dibunuh karena kebodohan-akibatnya ia terkurung dalam rumah; dan hanya menikmati jalan-jalan 15 sampai 30 menit tiap hari, sebelum dan sesudah majikannya pulang dari tempat pekerjaannya. Kedua, karena pemilik jaing mahal tentu juga orang sibuk, sebetulnya kontak antara mereka juga terlalu sedikit.

Jadi, jaing ini secara jasmaniah saja terpelihara, dengan sangat baik malah dibanding manusia-manusia Indonesia yang kismin, tetapi secara rohaniah jelas termiskinkan, karena hidupnya yang terkurung dan "tidak seperti layaknya jaing": Bebas berkeliaran, bebas mencari makanan, dan tentu saja bebas kawin.

Lho, apakah jaing punya rohani? Kita akan perbincangkan ini di kolom berikutnya. Untuk sekarang, cukup kita ketahui, memelihara binatang atau hewan tetap dianggap layak, tetapi jika memenuhi dua syarat: (1) Kebutuhan dasar jasmani dan rohaninya harus dipenuhi; (2) Binatang tersebut harus mendapat kehidupan yang setidaknya sama baik seperti jika beliau hidup secara bebas. Bayangkan saja bagaimana rasanya jika kita sendiri tidak mendapatkan dua hal tersebut. Jika kita tidak akan melakukannya kepada binatang, mestinya kita percaya diri tidak akan melakukannya kepada manusia lain. Meski, tentu saja ironis, dan ini sering kita saksikan, seseorang yang sangat menyayangi binatang peliharaannya, ternyata tega bersikap kejam dan tidak manusiawi terhadap sesama manusia lawan-lawan politiknya. Teori saya belum-belum sudah gugur: Sikap kita terhadap binatang ternyata bisa tidak mencerminkan sikap kita terhadap manusia.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home