Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Wednesday, January 23, 2008

Aku Ingin Bermesraan Denganmu


Aku hanya bisa bermesraan denganmu lewat media-media semu...
Hanya untuk sekedar mencium, mencumbu, bahkan untuk memelukmu sekalipun..
Maaf mungkin hanya sampai di situ batas keromantisanku..
Bukan karena aku tidak sayang padamu...
Aakkhh...sayang..Sebuah kata yang kadang sulit aku ucapkan ..
Tetapi kadang juga begitu gampang aku ungkapkan..
Begitu gampang ketika aku sudah pada puncak titik klimaks nafsu liarku Untuk mengumbar naluri kebinatanganku..
Begitu sulit kata itu aku ucapkan ..
Justru ketika aku ingin berkompromi dengan nurani..
Benar memang sulit untuk menggeneralkan tiga lini dasar asas sebuah manusia Dan kemanusiaan...
Sementara di sisi lain, komponen dominasi Dari bentuk Ikon sang nafsu terus berkecamuk..
Untuk sekedar berpenetrasi dalam rangka kepuasan yang memuaskan..Dan tentunya lebih dari itu..
Aku Ingin orgasme bersama sang waktu dalam iringan keharmonisan sejarah..
Walaupun Pahit...

Dan, Selamat tidur sayangku.....

Salam..

Labels:

Tuesday, January 15, 2008

Soeharto Dan Tempe


Akhir-akhir ini begitu marak pemberitaan tentang sakitnya mantan presiden Soeharto, bagaimana tidak hampir menjadi dominasi dari media cetak ataupun elektronik mencoba mengemas sisi yang berbeda dari sakitnya mantan presiden tersebut.
Kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto yang memburuk telah memicu kembali perdebatan tentang perlu tidaknya ia diadili.
Satu pihak, termasuk korban/keluarga korban yang ”didozlimi” Orde Baru menegaskan Soeharto harus diadili berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, sementara pihak lain dengan berbagai pertimbangan menghendaki supaya kasusnya dihapuskan, atau dikesampingkan.
Belum lagi masalah perdata yang menyandungnya, Soeharto dinilai telah menyalahgunakan dana Yayasan Supersemar senilai US$ 420 juta atau Rp 180 miliar. Kalaupun Soeharto meninggal, gugatan perdata itu dapat dialihkan kepada keenam anaknya disertai risiko menanggung semua perbuatan yang ditanggung ayah/kakek mereka.
Dan mereka yang menentang peradilan Soeharto umumnya berdalih kemanusiaan, sebab yang bersangkutan usianya telah lanjut dan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Lagipula, ia telah berjasa besar kepada bangsa dan negara ini.
Hal yang mendukung adalah fakta bahwa pasca-periode Presiden Soeharto, kondisi negara umumnya dan perekonomian khususnya tidak lebih baik. Suasana umum menyebutkan kondisi pada masa sebelum reformasi relatif lebih baik.
Begitukah?
Alih-alih tentang pro dan kontra peradilan mantan presiden ke dua Indonesia tersebut, kita melihat Indonesia memiliki daftar masalah yang bearagam.
Yang satu belum kelar, yang lain sudah muncul, suatu masalah yang katanya jaman mantan Presiden Soeharto dulu berkuasa tidak pernah ada, apakah itu?
Adalah masalah Tahu dan tempe, dulu katanya makanan khas rakyat kecil ini tidak pernah naik, tetapi beriring udzurnya sang mantan Presiden yang kronis, harga lauk pauk murah nan bergizi ini ikut naik.
Makanan yang bernama tahu/tempe itu, beberapa hari ini harganya meroket, sehingga rakyat protes. Kiranya inilah pertama kali terjadi dalam sejarah negara ini, bahwa ribuan rakyat di sekitar Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi berdemonstrasi ke Istana karena tahu dan tempe.
Itu juga yang dirasakan penulis, ketika makan di warteg makanan ini tidak terlihat di meja menu makanan.
Lantas apa hubungannya Sakitnya “eyang kakung” dengan Tempe?
Katanya Paru-paru Soeharto tergenang akibat otot jantung terganggu, dalam tubuhnya juga terdapat timbunan cairan yang disebabkan fungsi organ tubuh yang tidak optimal di samping juga pengaruh kolesterol, juga tidak berfungsinya ginjal dan alat pencernaan yang kurang bekerja efektif.
Kabel dan selang dari alat-alat bantu medis tertancap di tubuhnya, lebih dari sepekan dia dirawat.
Di ruang perawatan presiden suite lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta Selatan, Soeharto terus terbaring.
Secara Medis mungkin hanya dokter ahli yang paham apa penyakit Soeharto, tapi kalau bagi penulis biasanya penyakit yang “ruwet” tadi kebanyakan menjangkiti orang-orang kaya atau konglomerat.
Nah, paling banter penyakit yang dialami dengan orang semacam saya paling-paling mencret, masuk angin, rada-rada parah juga tipes.
Tidak tahu, apakah penyakit juga melihat status sosial?
Karena orang elite biasanya sakitnya juga elite, tidak jauh kalau orang kere penyakitnya ya itu-itu tadi, teringat dengan nenek saya dulu, apaun penyakitnya dari pusing kepala sampai keseleo obatnya Cuma satu, Bodrex.
Nah bicara masalah tempe, khasiat tempe katanya untuk kesehatan tak lagi diragukan. Mulai dari mengatasi gejala kanker, sampai menormalkan kadar kolesterol dalam darah. Kedelai, sebagai bahan utama tempe, adalah rahasia mengapa tempe ampuh mengatasi berbagai penyakit.Beberapa ahli juga berpendapat bahwa masyarakat yang biasa mengkonsumsi tempe, lebih jarang atau tidak mudah terkena serangan penyakit saluran pencernaan. Disebutkan juga, tempe mempunyai khasiat antara lain mempercepat hilangnya lekosit darah.
Kandungan gizi tempe juga mampu bersaing dengan sumber protein yang berasal dari bahan makanan lain, seperti daging, telur dan ikan.Beberapa literatur juga menyebutkan, masyarakat yang biasa mengkonsumsi tempe, jarang terkena penyakit saluran pencernaan karena kandungan seratnya (diety fiber) mencapai 7,2 gram per 100 gram. Tempe termasuk bahan makan yang mengandung vitamin B Kompleks, diantaranya vitamin B-12 yang berfungsi untuk pembentukan butir darah merah.
Kalau ingin lebih jelas tentang khasiat tempe, silahkan pembaca cari saja di internet atau sumber lain.
Nah kembali ke masalah Mantan Presiden Soeharto dan tempe tadi, pertanyaanya apakah, kakek yang terkenal dengan semboyanya ‘Ora Patheken” ini akan sembuh, kalau dia mau mengkonsumsi tempe?
Jawabanya, coba tanyakan saja pada rumput yang bergoyang, pastinya saat ini harga tempe masih tinggi, bahkan banyak pengrajin tempe ini glung tikar karena bahan baku kedelai pembuat tempe naik sampai 150%.
Sementara sang mantan Jenderal Besar ini selain menghadapi tuntutan perdata, juga menghadapi setidaknya beberapa kasus pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang membentang dari tahun 1960-an hingga tahun 1998. Kasus-kasus yang tengah ditangani Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia itu tersediri dari tekanan politik dan pembunuhan pada pertengahan 1960-an, pemenjaraan yang berkepanjangan atas para tahanan politik di pulau Buru, penembakan misterius pada tahun 1980-an, konflik-konflik bersenjata di Nanggroe Aceh Darussalam (DOM), dan lain-lainBanyak dari sekalian persoalan yang ditanggung mantan Presiden Soeharto merupakan kegiatan kolektif, baik dari unsur-unsur di dalam negeri maupun luar negeri.

Tema besar pada waktu itu adalah menjaga kesinambungan pembangunan atau stabilitas yang dengan segala cara memperkecil atau menghilangkan faktor-faktor yang menghasilkan ketidakstabilan politik, ekonomi maupun sosial.
Selain itu juga ada sebuah tema lain warisan perang dingin, yakni mencegah Indonesia supaya tidak masuk ke dalam blok Timur (Sosialisme), agar Investasi negara asing tetap lancar tekendali.

Bertolak dari langkah hukum itu (perdata atau pidana), tampaknya kasus ini sulit dilaksanakan sungguh-sungguh karena sarat dengan berbagai kepentingan masa lampau selain masalah kemanusiaan semata-mata.

Meski demikian, kita dapat melihat bagaimana langkah hukum di negara lain dalam kasus yang sama. Terakhir kita saksikan, sejumlah presiden dan calon presiden harus diperiksa tim penyelidik independen. Lihat apa yang terjadi terhadap mantan Presiden Marcos (Filipina), Abacha (Nigeria), dan Fujimori (Peru).
Perlu diingat, salah satu tujuan gerakan reformasi tahun 1998 adalah menuntaskan kasus mantan Presiden Soeharto dan kroninya.



Lantas, bagaimana kita menyikapi persoalan pro dan kontra peradilan mantan Presiden Soeharto ini? Maaf bukan maksud penulis menggurui pembaca, hanya perkenankalah saya mencoba beropini. Saya yakin, umumnya rakyat Indonesia ihklas memaafkan Soeharto. Sebab, rakyat Indonesia adalah orang-orang beragama yang paham betul apa artinya memaafkan, apalagi terhadap mantan pemimpin yang sudah ”bau tanah” ini. Jadi, para elit politik/birokrat tak usah repot-repot mengimbau rakyat untuk memaafkan Soeharto. Namun sebaliknya, para politisi hendaknya juga sadar betul bahwa mereka harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada rakyat. Jadi, kalau mereka mengatakan:



"Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan penyelesaian kasus hukum mantan Presiden Soeharto. Rakyat justru diminta mendoakan yang terbaik bagi Soeharto." (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kompas 13 Januari 2008)


"Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia meminta masyarakat Indonesia memaafkan kesalahan masa lalu yang dilakukan mantan Presiden Soeharto." (Kompas, 13 Januari 2008)

Disadari atau tidak mereka telah membodohi rakyat karena telah memberikan pendidikan politik yang amat jauh dari kebenaran. Mengapa demikian?Karena di negeri ini berlaku prinsip setiap orang sama di muka hukum. Jadi, jika Indonesia betul-betul konsisten sebagai negara hukum, maka Soeharto dan siapa pun, seharusnya diperlakukan sama secara hukum.

Artinya, kalau ia bersalah, maka hukum harus ditegakkan oleh karenanya sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya, tak perlu melihat ia pernah berjasa bagi bangsa ini atau tidak. Hanya dengan begitulah kepastian hukum dapat terwujud. Dengan demikian pulalah niscaya kewibawaan hukum makin diakui dan dihormati oleh setiap warga negara.

Penulis sadar, bahwasanya awan tentang masalah hukum, tetapi sejauh yang saya tahu memaafkan atau mengampuni seseorang haruslah didahului dengan permohonan maaf atau ampun oleh orang yang bersangkutan, begitu kira-kira logikanya.

Terkait dengan kasus mantan Presiden Soeharto, jika ia sendiri selama ini tak pernah memohon maaf atau ampun, lalu bagaimana kita bisa memutuskan untuk memaafkan atau mengampuni dia?
Kalaupun ia mengajukan permohonan itu, maka seharusnya ada kejelasan perihal kesalahan apa saja yang pernah dilakukannya.
Sebab, harus dipahami, bahwa dalam masalah ini Soeharto berhadapan dengan negara maupun rakyat Indonesia secara politik.
Jadi, jika ’Maaf-memaafkan” diharapkan terjadi, maka ada beberapa kriteria yang setidaknya harus dipenuhi.
Pertama kebenaran diungkapkan, pihak yang bersalah mengakui kesalahannya dan memohon maaf, setelah itu barulah pihak-pihak lain yang pernah dirugikan akibat kesalahan itu memberi maaf kepadanya.

Itu juga kalau para korban ini rela memaafkan, tidak menutup kemungkinan dari mereka juga menuntut keadilan yang lebih.
Terkait ada anaknya yang tewas, dipenjara tanpa diadili, KTP yang didiskriminasi, dll.
Itu Sebababnya Masalah peradilan Mantan peradilan Soeharto tidak sesederhana maaf-memaafkan, setidaknya harus jujur dulu ”Tidak ada Dusta Diantara Kita”.

Kita akan selalu terheran-heran lagi , manakala peradilan amantan Presiden Soeharto ini kembali mencuat ketika dia dikabarkan sakit.

Urusan setelah Soeharto keluar dari Rumah Sakit, ibarat angin lalu dan tidak/jarang terkontrol tentang proses peradilannya.

Pertanyaanya kemudian adalah tugas para penegak Hukum ini, kenapa selalu mereka bermental tempe ketika didesak untuk mengusut kekayaan atau kejahatan mantan Presiden ini?

Pastinya bukan karena mereka banyak makan tempe.




Husni K Efendi

Pengamen Jalanan, Hobi makan tempe, Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat Simpul Bandung.




Labels: