Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Friday, August 17, 2007

Khilafah, Circle A, Koalisi Partai, Kebenaran Dan Kemiskinan



Barusan aku melihat Di layar televisi, Pemandangan tentang Konferensi atau apapunlah namanya semacam kumpulan Internasional di gelora Bung Karno Jakarta, Temu Internasional dalam tema 'saatnya Kilafah memimpin dunia", begitu kira-kira.

Gema takbir yang Berkumandang, diselingi dengan pekikan “Saatnya Kilafah Memimpin Dunia, Allahu akbar, Allahu akabar..!!!”

Karena Saatnya Kilafah Memimpin Dunia, dengan Syariah Islam sebagai alatnya, untuk menghadapi sekularisme dan kapitalisme negeri kafir, “Allahu akbar..!!”

Terus Pekikan itu berkumandang…

Sedikit mengutip dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad, Tempo Edisi 20-26 Agustus 2007.

"Saya kira tak ada ironi, itulah yang tampak mencolok Ketika Hizbut Tahrir menghimpun 70 ribu orang di jakarta pekan lalu, Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali "Khilafah" di dunia Islam.

Dan sekaligus ia menolak Demokrasi, tak tampak usaha mengambil jarak dari desain besar itu.

Tak terdengar selintas pun keraguan apalagi cemooh yang dibiarkan menganggu.

Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan jawaban:

Bagaimana sang "Khalifah" di pucuk kepemimpinan Ditentukan? Oleh siapa? Bagaimana membentuk kekuatan yang bisa menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang terbangun selama ini?"

Begitu seorang Goenawan Mohammad menyikapi dalam catatan pinggirnya.

Kemudian terlintas tentang gambaran sejarah dari "Khilafah" mereka yang melulu tentang masa lalu seperti langit jernih penuh bintang, damai sentosa.

Seakan-akan tak pernah ada bencana kemanusiaan, bahkan banjir darah.

Seakan-akan tak pernah ada Murad III (1574-95) yang punya 103 anak dari sederet isteri, sebuah keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam khilafah Usmani.

Anaknya Muhammad III (1595-1603), memulai bertakhta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri.

Murad IV (1623-40) melakukan hal yang sama, dan hanya membiarkan seorang adik hidup hanya karena si adik lemah mental.

"Islamisme" gagal belajar dari kondisi itu, Islam dianggap sebagai "jawaban yang sempurna" untuk membangun sebuah masyarakat yang "sempurna" .

Ada usaha menghapus wajah hidup yang tragis dan cela.

Yang tragis, kurang, negatif, dianggap tak punya peran dalam politik.

Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani seorang Qadi dari Yerussalem pada tahun 1953, menampik Demokrasi.

Atas nama Umat yang selalu terdzolimi mereka menginginkan kembali kejayaan Islam, dan akan terus membela agama Allah…

Padahal Hidup tak cocok dengan "politik kesempurnaan" hidup adalah tempat "politik kedhaifan" , politik yang tawakal dan tidak cepat marah.

Ada satu ungkapan yang menarik, Semut tahu formula bukit semut, lebah punya formula sarang mereka, tapi manusia tak punya formulanya sendiri.

"Allahuakbar..Allahuakbar...Saatnya Khilafah memimpin Dunia..!!!!"

Begitu sering terdengar dari siaran ulang yang disiarkan salah satu stasiun televisi Nasional tersebut.

***

Tempo hari aku baru pulang dari kostan teman, sekedar main dan ngobrol-ngobrol.

Keasyikan Ngobrol sampai pada temanku bercerita tentang kekecewaan dia, karena tengah bulan ini tidak bisa mengikuti pertemuan “Circle A”, begitu aku sering menyebut perkumpulan/komunitas temanku yang kadang aku ikut nongkrong bareng mereka tentang orientasi anti otoritarian dasar dari kumpulan/komunitas tersebut.

Dan acara itu akan berlangsung di Jogjakarta pertengahan bulan ini, juga informasi dari temanku tadi akan hadir perwakilan dari beberapa kota di Indonesia, selain sebagai wadah juga untuk ke depan, Dalam pertemuan yang lebih luas dalam lingkup Asia, Selain juga membicarakan isu-isu lain,

Temanku ini bercerita tentang kekecewaanya sebab ia tidak bisa mengikuti karena ada sidang Tugas akhir/skripsinya.

***

Beberapa Minggu yang lalu aku membaca majalah politik mingguan tentang Bergabungnya atau berkoalisinya dua partai besar di Indonesia, atas nama peneguhan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Satu partai yang masih aman ketika masa Reformasi dulu selalu dihujat dan dituntut untuk dibubarkan karena dinilai mencetak birokrat-birokrat korup dan Pelanggar Hak Asasi Manusia, juga dalam money politik yang kental dalam setiap Pemilu, yang dimana si partai ini selalu bisa memenangkan, dan kemudian tak jelas bagaimana peradilannya sampai sekarang.

Satunya lagi partai yang terkenal sebagai partai oposisi dan terkenal dengan “membela wong ciliknya” kemudian tiba-tiba bergandengan tangan sambil senyum dan ketawa-ketawa.

Padahal tempo beberapa bulan yang lalu begitu dengan kerasnya dia mengkritik tentang kinerja partai yang sekarang menjadi partnernya.

Nyaris setelah dua partai besar ini berkoalisi tidak lagi terdengar kritik-kritik semacam kasus lapindo, kasus perburuhan. dll

Drastis yang dibicarakan dua partai ini kemudian tentang peneguhan / keutuhan NKRI tapi tak jelas riil nya seperti apa, pun dengan tegas mereka menolak dikatakan sebagai persiapan dalam rangka pemilu 2009 yang sebentar lagi.

***

Sejenak kemudian aku ingin menuliskan tentang fenomena –fenomena tersebut, semacam ada keresahan yang ingin aku bagikan.

Keresahan apa aku juga tidak tahu benar.

Subjektif/objektif, ilmiah/tidak ilmiah, bukan ke orientasi ke sana sebenarnya.

Lantas..????

Ditengah-ditengah keresahan tadi., aku membaca Koran pagi, ada yang menarik dalam sebuah kolom yang tak terlewat aku baca di seiap minggunya kolom itu muncul.

Kolom Asal-usul, begitu harian ini menyebutnya.

Judulnya adalah “Sahadat”, karena mungkin masih dalam suasana Isra Mi’raj.

Tidak terlalu penting aku kira untuk membicarakan tentang Isra Mi’raj itu sendiri, selain hanya sebagai rutinitas tahunan.

Yang lebih menarik adalah bahasan si penulis kolom Asal usul tadi dalam ia meramu moment Isra Miraj dengan keresahan yang mungkin si penulis rasakan juga.

Awalnya ia Bertutur tentang manifestasi Sahadat dalam Islam atau semcam janji, ketika itu tidak ada gunanya atau kurang terjamin keaslianya tanpa dihadapkan denngan realita yang harus dihadapi dalam rangka peneguhan janji itu sendiri.

Lantas ia memanifestasikan sahadat/sumpah dalam bentuk yang lebih luas, ketika Hakim, Jaksa, Presiden, Polisi, Menteri, Dirjen, Sekjen, Aktivis LSM, Gubernur, Bupati, walikota, camat, Lurah, carik, Wartawan, politisi, Kyai, pastur, pendeta, sadarkah bahwa jabatan/predikat mereka juga diuji?

Termasuk predikat dari “Manusia” itu sendiri.

Di dalam hidup, “sahadat’ itu campur aduk menjadi satu dan kelihatan ruwet di mata hati yang tak dibuka untuk menjadi tempat bagi keadilan dan kebenaran, maupun kemanusiaan.

Janji/Sahadat itu diolah dalam otak, sisi “pintar/logis” manusia yang cenderung “minteri” (Menggurui) pihak lain, dan tak pernah singgah di dalam hati nurani yang memihak sikap adil dan manusiawi.

Lembaran berikutnya aku tertarik membaca kolom “Persona” yang memuat salah satu tokoh penerima nobel perdamaian dunia tahun ini.

Dia terkenal dengan memberikan pinjaman kepada orang miskin di negara Bangladesh sana.

Ia membongkar pandangan tentang kebodohan dan kemalasan, kutukan dan ketidak mungkinan ciptaan system ekonomi-politik, budaya, dan birokrasi, yang membuat orang miskin tetap miskin, tetapi kemiskinan menjadi proyek Hutang.

Adalah seorang Muhamad Yunus (67) tahun.

Penerima Nobel yang agak “aneh” karena biasanya penerimanya adalah para pembela HAM/mereka yang berkecimpung dalam perdamaian negara konflik, atau semacamnya.

Kelaparan hebat di Bangladesh mengubah hidupnya, Tahun 1975-1976 dia memimpin mahasiswanya kuliah lapangan ke Jopra, desa dekat Chittagong, memperkenalkan perbaikan teknik bertanam padi dan mendirikan koperasi Irigasi.

Dia menyadari Usahanya itu tidak menyentuh orang yang paling butuh bantuan.

Mereka yang tidak punya tanah, aset, orang desa yang miskin.

Saat itulah ia bertemu seorang perempuan pembuat kursi yang meminjam dari lintah darat kurang dari satu dollar AS untuk modal, tetapi si lintah darat menentukan segalanya.

Dengan bantuan mahasiswanya, dia menemukan 42 perempuan dengan nasib yang sama.

Muhamad Yunus meminjamkan uangnya 27 Dollar AS sebagai Modal kepada 42 perempuan itu.

Itulah awal Grameen Bank atau bank Desa untuk orang miskin tersebut.

Ia percaya tesis besar Kapitalisme tentang system ekonomi yang kompetitif, tapi menolak ketamakan.

Perjalanannya untuk membuktikan bahwa orang miskin bukan beban adalah perjuangan yang menarik.

Ia mendefinisikan konsep pembangunan sebagai perubahan yang kompleks.

Dan selalu posisi orang miskin dibiarkan pada posisi penerima sedekah.

Ia membongkar kepalsuan tentang pelatihan dari pihak pemberi hutang.

Sekitar 100.000 pengemis kini bergabung dengan program bebas bunga, bisa membayar kapan saja, dan 5000 diantaranya sudah berhenti mengemis.

***

Kemudian terbesit dalam pikiranku, bukankah konsep Muhammad Yunus itu ada dalam konsep semacam Koperasi Indonesia ???

Atau Dalam Syariah Islam, yang begitu heroik kalau membicarakan orang miskin.

Diceritakan tentang bagaimana salah satu sahabat Rasulullah ketika setiap malam dia berpatroli untuk melihat adakah tetangganya ada yang belum makan.

Sampai ditemukan seorang Ibu yang merebus batu sampai mendidih hanya untuk menghibur anaknya yang kelaparan agar ia tertidur.

Sampai kemudian hal itu diketahui sahabat nabi, dan dia menagis melihat kejadian itu.

Lantas dia kembali ke gudang Baitul Mall untuk memberikan beberapa kantung gandum.

Sampai dia sendiri yang memikulnya untuk diberikan kepada si Ibu dan anaknya tadi yang kelaparan.

Bukankah Rencana-rencana pengentasan kemiskinan itu selalu ada dalam janji kampanye partai, atau dalam Undang-Undang Dasar 1945 ???

Bukankah itu juga yang sering menjadi tema perbincangan tentang permasalahan kemiskinan untuk menuju kesetaraan dalam arti ketika siapaun manusia berhak atas makanan, dan menjadi kegiatan mingguan, walaupun tidak setuju dengan otoritas negara atau otritas konstitusi dalam bentuk pasifnya.

Bukan itu yang menjadi soal.

Yang menjadi soal adalah, Bukankah Norma-norma tetap saja berjalan, dan realitas juga berjalan dengan wajahnya sendiri..?????

Itulah kebenaran, dari sisi manapun melihat, Kebenaran tentang realita hari ini.

Kebenaran realita tentang kelaparan, kebenaran realita tentang kemiskinan…

Lantas, masihkah terus melulu mencari format apa itu tentang “Kebenaran" yang tidak beranjak dari pemikiran antah berantah langitan.

Labels:

Yosepha Alomang


Yosepha Alomang -- yang lebih banyak dikenal melalui panggilan kesayangannya Mama Yosepha -- adalah seorang perempuan tokoh Amungme, Papua. Ia terkenal kaerna perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT Freeport Indonesia.

Mama Yosepha dilahirkan di Tsinga, Papua, pada tahun 1940-an. Sejak bayi ia telah menjadi anak yatim-piatu. Ia hidup bersama ayah tirinya. Di masa kecilnya, ia hidup berpindah-pindah, bersama dengan para penduduk desa lainnya, karena perintah pemerintah Belanda, dan kemudian pemerintah Indonesia.

Yosepha menikah pada awal 1970-an, setelah beberapa tahun bersekolah. Saat itu, ia telah bekerja sebagai bidan yang cekatan dan, berkat bantuan Gereja Katolik, ia bekerja menolong orang-orang lain.

Sejak muda Yosepha telah memperlihatkan tanda-tanda tentang tekadnya yang besar dan kemandiriannya. Hal ini disebabkan karena sejak bayi ia telah menjadi anak yatim dan dibesarkan di antara keluarga tirinya yang menunjukkan sikap tidak bersahabat kepadanya. Ketika suaminya gagal membayar uang maharnya sesuai dengan tuntutan adat, Yosepha sendiri berusaha keras untuk menabung dan ikut membayarnya, untuk menghindari kemarahan keluarganya.

Suami Yosepha mulai banyak minum minuman kerasl. Yosepha, yang menganggap bahwa alkohol diperkenalkan kepada masyarakat Papua untuk merusak mereka, mengadakan kampanye untuk melarang peredaran minuman keras di Timika. Suatu kali ketika Yosepha tidak ada di rumah, suaminya menjual tanah milik Yosepha agar dapat membeli minuman. Ketika anak bungsunya berusia 8 bulan, Yosepha meninggalkan suaminya, karena kebiasaannya minum-minum menghancurkan keluarganya.

Perjuangan melawan Freeport telah mendominasi kehidupan dan pekerjaan Mama Yosepha. Misalnya, anak sulung Yosepha, Johanna (lahir 1974), meninggal dunia pada 1977 karena kelaparan, ketika Yosepha bersama seluruh keluarganya bersembunyi di hutan-hutan dari pengejaran militer. Operasi militer ini dilakukan setelah ratusan rakyat Amungme memotong pipa milik Freeport, karena Freeport dianggap telah merampas tanah kepunyaan rakyat Amungme di Agimuga.

Dengan bantuan Gereja, Yosepha dan sejumlah perempuan lainnya membangun koperasi untuk memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil tanaman mereka. Yosepha merasa Freeport mestinya mendukung rakyat setempat dengan membeli bahan-bahan hasil kerja mereka, namun perusahaan itu mendatangkan bahan-bahan tersebut dari luar Papua. Para perempuan itu melakukan protes dengan menghancurkan buah-buah dan sayuran impor.

Pada 1991, Yosepha mengadakan aksi unjuk rasa selama tiga hari di bandar udara di Timika, dengan memasang api di landasan udara, sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mendengarkan keprihatinan rakyat setempat dan perlakuan buruk yang berkelanjutan terhadap rakyat Papua.

Pada 1994, Mama Yosepha ditangkap karena dicurigai menolong tokoh Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik. Bersama dengan seorang perempuan Papua lainnya, Mama Yuliana, ia dimasukkan ke sebuah tempat penampungan kotoran manusia. Ia dikeram di tempat itu selama seminggu dengan kotoran manusia setinggi lututnya.

Dua tahun kemudian, Yosepha mengajukan tuntutan perdata terhadap Freeport McMoRan Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkannya.

Ketika ia mendengar berita tentang runtuhnya bendungan Wanagon pada Mei 2000, Mama Yosepha segera kembali dari Jayapura ke Timika. Ia berhasil mengunjungi tempat kejadian dan menyaksikan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kebun, rumah, dan ternak rakyat setempat. Yosepha kembali ke Jayapura dengan sejumlah rakyat Amungme lainnya dan mengadakan demonstrasi di depan gedung DPRD.

Pada 2001, Yosepha mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999.

Kegigihan Mama Yosepha dalam perjuangannya melawan Freeport akhirnya membuahkan hasil. Perusahaan itu memutuskan untuk memberikan AS$248.000 kepada Mama Yosepha, yang digunakannya untuk membangun Kompleks Yosepha Alomang. Kompleks ini terdiri dari sebuah klinik, gedung pertemuan, panti asuhan anak yatim, dan monumen pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Pada tahun yang sama, Yosepha dianugerahi Penghargaan Lingkungan Hidup Goldman Sachs.

Meskipun Freeport telah memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Mama Yosepha, perjuangannya melawan perusahaan itu tetap berlanjut. Pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtuh di tambang Grasberg milik Freeport dan menewaskan 9 orang buruh tambang, Yosepha kembali menyerukan agar Freepot menghentikan operasinya di Indonesia, karena dituduh telah menyebabkan kecelakaan itu serta kerusakan lingkungan hidup secara besar-besaran.

Riwayat hidup dan perjuangan Yosepha Alomang ditulis dalam buku yang berjudul Pergulatan seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, yang terbit pada 2003.

Perjuangan Mama Yosepha demi hak-hak asasi manusia di Papua mendapatkan pengakuan nasional dalam bentuk Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Penghargaan Lingkungan Hidup Goldman Sachs pada 2001.

Labels:

Munir


Munir, SH pejuang Hak Asasi Manusia ini lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965. Kepergiannya meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak bernama Sultan Alief Allende dan Diva. Sebelum menceburkan diri secara penuh dalam dunia aktifis, dia sempat bekerja di sebuah perusahaan persewaan sound system dan menjual alat-alat elektronik. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang tahun 1985 ini, memulai karirnya di LBH Pos Malang. Ia masuk sebagai sukarelawan di LBH Pos Malang tahun 1989. Munir memulai seluruh kerjanya dari "basis" buruh dan petani. Sebuah kerja yang keras di tempat kumuh, miskin, gelap dan penuh ratap tangis. Tetapi di situlah rupanya dia semakin otentik komitmennya untuk Hak Asasi Manusia.

Setahun kemudian Munir pindah ke Surabaya dan menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH. Tahun 1993 Munir diangkat menjadi Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya sampai 1995. Karir Munir di LBH terus berlanjut. Usai menjabat Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya, ia dipromosikan menjadi direktur LBH Semarang. Ia hanya tiga bulan di Semarang, kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Sekretaris Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Tanggal 16 April 1996, Munir menjadi pendiri Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rejim penguasa saat itu. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Saat menjabat Koordinator KontraS namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktifis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Suharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar.

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah, dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Sebelumnya, Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).

Labels:

Theresa


Teresa dilahirkan dengan nama Agnes Gonxhe Bojaxhiu

(27 Agustus 19105 September 1997) adalah seorang biarawati Katolik terkenal dan kontroversial di dunia Internasional yang pekerjaannya di antara orang miskin Kolkata diberitakan secara luas.

Dia diberikan Penghargaan Templeton pada 1973, Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1979 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna pada 1980. Dia dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996 (satu di antara enam). Dia diberkati oleh Paus Yohanes Paulus II pada Oktober 2003,

Teresa dilahirkan sebagai Agnes Gonxha Bojaxhiu di Üsküb, sebuah kota di Kerajaan Ottoman provinsi Kosovo (sekarang Skopje di Republik Makedonia). Ayahnya adalah seorang pedagang sukses. Orang tuanya memiliki tiga anak, dan Agnes merupakan yang termuda. Orang tuanya Nikollë (Kolë) and Dranafile Bojaxhiu, berasal dari kota Prizren di selatan Kosovo. Mereka menganut Katolik, meskipun kebanyakan orang Albania adalah Muslim dan mayoritas populasi di Makedonia adalah Ortodoks Makedonia

Sangat sedikit diketahui tentang awal hidupnya kecuali dari tulisannya sendiri. Dia mengingat bahwa dia merasa panggilan untuk menolong si miskin dari umur 12, dan mengambil keputusan untuk melatih dirinya dalam kerja misi di India. Dia adalah anggota dari mudika di paroki setempat disebut Sodality. Pada umur 18, Vatikan mengizinkan Teresa untuk meninggalkan Skopje dan bergabung dengan Kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati Irlandia di Rathfarnham dengan sebuah misi di Kolkata.

Dia memilih Kesusteran Loreto karena vokasi mereka adalah untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei 1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.

Dari 1930 sampai 1948 Ibu Teresa mengajar geografi dan katekisme di SMA St. Mary di Kolkata, menjadi kepala sekolah pada 1944. Dia kemudian mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam di dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".

Pada 1948 dia menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung Kolkata, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka. Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kolkata dan mendirikan tempat tinggal sementara dengan "Little Sisters of the Poor". Dia kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki rumah. Kemudian dia bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia menerima dukungan finansial dari organisasi gereja dan otoritas munisipal.

Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."

Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya, Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.

Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI mengizinkan permintaan Ibu Teresa untuk mengembangkan ordonya ke negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibukan di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan, rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx Selatan, New York.

Labels:

Mahatma Gandhi


Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di negara bagian Gujarat di India. Beberapa dari anggota keluarganya bekerja pada pihak pemerintah. Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum. Setelah dia menjadi pengacara, dia pergi ke Afrika Selatan, sebuah koloni Inggris, di mana dia mengalami diskriminasi ras yang dinamakan apartheid. Dia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif tersebut. Gandhi pun membentuk sebuah gerakan non-kekerasan.

Ketika kembali ke India, dia membantu dalam proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan inspirasi bagi rakyat di koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan memecah Kemaharajaan Britania untuk kemudian membentuk Persemakmuran.

Rakyat dari agama dan suku yang berbeda yang hidup di India kala itu yakin bahwa India perlu dipecah menjadi beberapa negara agar kelompok yang berbeda dapat mempunyai negara mereka sendiri. Banyak yang ingin agar para pemeluk agama Hindu dan Islam mempunyai negara sendiri. Gandhi adalah seorang Hindu namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara.

Pada 1947, India menjadi merdeka dan pecah menjadi dua negara, India dan Pakistan. Hal ini tidak disetujui Gandhi.

Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai "jalan yang benar" atau "jalan menuju kebenaran", telah menginspirasi berbagai generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti-rasisme seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional: kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa).

Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu yang marah Gandhi terlalu memihak kepada Muslim.

Selain tokoh-tokoh perjuangan anti kekerasan, keadilan dan perdamaian di tingkat dunia, di Indonesia pun ajaran Gandhi menemukan lahan yang subur. Ibu Gedong Bagoes Oka, misalnya, menemukan inspirasi perjuangannya di dalam ajaran Gandhi. Ia mendirikan Ashram Gandhi di Candi Dasa, Bali sebagai pusat pendidikan dan pengamalan ajaran-ajaran Gandhi tersebut.

  • "Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh."

Gandhi tidak pernah menerima Penghargaan Perdamaian Nobel, meski dia dinominasikan lima kali antara 1937 dan 1948. Beberapa dekade kemudian, hal ini disesali secara umum oleh pihak Komite Nobel. Ketika Dalai Lama dianugerahi Penghargaan Nobel pada 1989, ketua umum Komite mengatakan bahwa ini merupakan "sebuah bentuk mengenang Mahatma Gandhi".

Museum elektronik Nobel mempunyai artikel mengenai hal tersebut.

Sepanjang hidupnya, aktivitas Gandhi telah menarik berbagai komentar dan opini. Misalnya, sebagai penduduk Kerajaan Britania, Winston Churchill pernah berkata "Menyedihkan...melihat Mr. Gandhi, seorang pengacara Kuil Tengah yang menghasut, sekarang tampil sebagai seorang fakir yang tipenya umum di Timur, menaiki tangga Istana Viceregal dengan badan setengah-telanjang." Begitu juga dengan Albert Einstein yang berkomentar berikut mengenai Gandhi: "(Mungkin) para generasi berikut akan sulit mempercayai bahwa ada orang seperti ini yang pernah hidup di dunia ini."

Karya Mahatma Gandhi tidak terlupakan oleh generasi berikutnya. Cucunya, Arun Gandhi dan Rajmohan Gandhi dan bahkan anak cucunya, Tushar Gandhi, adalah aktivis-aktivis sosio-politik yang terlibat dalam mempromosikan non-kekerasan di seluruh dunia.

Labels:

Yap Thiam Hien


Yap Thiam Hien (1913-1989)

Yap Thiam Hien seorang pengabdi hukum sejati. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya telah menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Pria Tionghoa ini seorang advokat teladan yang berani dan tanpa pamrih selalu hadir paling depan membela orang-orang tertindas. Patutlah namanya diabadikan sebagai nama penghargaan penegakan HAM: Yap Thiam Hien Award.

Sehingga, walaupun pejuang HAM, kelahiran Banda Aceh 25 Mei 1913, ini telah wafat 25 April 1989, namanya tetap hidup menjadi sumber inspirasi dan obor api perjuangan hak asasi manusia yang terus menyala, tidak pernah padam. Ia telah menjadi teladan dan guru bagi banyak advokat terkenal di negeri ini. Semangat juangnya untuk menegakkan keadilan diukir dalam lambang Yap Thiam Hien Award dengan semboyan Fiat Justitia, Ruat Caelum yang artinya tegakkan keadilan, sekalipun langit runtuh.

Agaknya, itu pulalah menjadi makna paling hakiki dari penganugerahan Yap Thiam Hien Award, yaitu suatu sumber nyala api semangat meneruskan (estafet) perjuangan hak asasi manusia sebagai komitmen terhadap kemerdekaan, keadilan dan peradaban. Suatu obor estafet hak asasi manusia. Sekaligus sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Yap Thiam Hien, walaupun dia tidak mengharapkan penghargaan itu.

Yap Thiam Hien Award yang adalah penghargaan bidang HAM yang pertama di Indonesia, telah diselenggarakan sejak 1992. Dianugerahkan kepada individu dan lembaga yang teguh berjuang di bidang penegakan HAM.

Siapa Yap Thiam Hien? Sudah banyak cerita (kisah) tentang dia. Ia seorang pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Sebagian besar hidupnya diabdikan untuk membela siapa saja yang tertindas. Pemilik sosok tubuh kecil ini bernyali besar untuk membela siapapun yang tertindas.

Ia dikenal sebagai seorang advokat teladan yang mencerminkan prinsip dan idealisme seorang penegak hukum yang ideal. Seorang pejuang hak asasi manusia yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum terpinggir dan minoritas. Ia sosok advokat yang menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi para penegak hukum generasi sesudahnya.

Sebagai advokat, ia tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela. Sejak aktif sebagai advokat tahun 1948, ia selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara.

Memang, ia seorang advokat yang pantas menyandang predikat istimewa dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia: Seorang ‘Singa Pengadilan’. Demi menegakkan hukum dan keadilan, ia selalu siap berjuang habis-habisan tanpa mengenal rasa takut. Sering kali ia membela klien yang sebelumnya telah ditolak advokat lain karena miskin atau unsur politik dan mengenai kepentingan pemerintah. Pada era Orde Baru itu, kerap kali para advokat menghindari membela kepentingan rakyat yang tertindas. Tetapi, Yap tetap teguh pada prinsip, ia berani dengan segala konsekuensinya membeli kepentingan para wong cilik.

Contohnya, ia pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Saking ‘geram’-nya ‘Singa Pengadilan’ ini bahkan menyerang pengacara pemilik gedung itu dalam persidangan, dengan mengatakan: “Bagaimana Anda bisa membantu seorang kaya menentang orang miskin?” Yap, salah seorang pendiri Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu berani membangkitkan semangat wong cilik tertindas dan tergusur itu untuk menentang kebijakan pemerintah yang salah, demi tegaknya keadilan.

Pada era Bung Karno, Yap (panggilan akrabnya) menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.

Begitu pula ketika terjadinya G-30-S/PKI, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G-30-S/PKI seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Hak-hak Asasi Manusia yang mereka dirikan dan sekaligus mewakili Amnesty Internasional di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.

Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung, heran dan jengkel.

Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

Pada Peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demo besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.

Yap Thiam Hien, anak sulung dari tiga bersaudara buah kasih Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio, dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini sejak kecil memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.

Semangat antipenindasan ini telah mendorongnya untuk giat belajar. Ia sadar bahwa pendidikan adalah syarat utama untuk bisa melawan penindasan. Tanpa pendidikan akan sulit bagi seseorang melepaskan diri dari penindasan, apalagi untuk membela orang dari penindasan. Maka ia pun dengan tekun belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh.

Setamat dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh, melanjutkan studi ke AMS A-II jurusan Sastra Barat di Yogyakarta pada 1933. Ketika di AMS itu Yap banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin.

Kemudian ia pindah ke Jakarta, dan masuk Chineesche Kweekschool. Selepas itu, Yap menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943.

Belum puas dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya, setelah kemerdekaan, Yap berangkat ke negeri kincir angin melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Dari sana ia meraih gelar Meester de Rechten.

Sekembali ke tanah air, ia mulai berkiprah sebagai seorang advokat sejak 1948. Pada mulanya menjadi pengacara warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, sebagai advokat pejuang, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970.

Sejak aktif sebagai advokat itu, Yap tak jemu-jemunya melayani kepentingan masyarakat. Ia pejuang hak asasi dan gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan kaum tertindas. Dalam profesi sebagai advokat, untuk tujuan memperkuat hukum dan melayani keperluan keadilan, ia pun memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.

Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan BAPERKI, suatu lembaga politik untuk orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota DPR dan Konstituante.

Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.

Perjalanan karir dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh Sang Isteri, Tan Gian Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak dan empat cucu. Yap, yang meraih gelar doktor honoris causa dan dikenal sebagai pengabdi hukum sejati itu, mampu dengan penuh semangat melaksanakan berbagai prinsip keadilannya, juga ditopang oleh Sang Isteri.

Bagi keluarganya, Yap juga seorang panutan. Walaupun sangat sedikit waktu yang bisa dia sediakan untuk keluarga, ia selalu berupaya memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk bersahabat dengan isteri dan anak-cucunya. Jika ada waktu senggang ia senang memanfaatkannya dengan bepergian atau berdiskusi dengan putra-putrinya. Baginya, Sang Isteri dan putera-puterinya adalah inspiasi, gairah dan semangat tinggi.

Namun, setinggi apapun semangat itu, tak ada manusia yang kuasa menolak kematian. Begitu pula bagi Yap. Hari itu pun tiba. Dalam suatu perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.

Labels:

Martin Luther King


Pendeta Martin Luther King, Jr., Ph.D. (15 Januari 19294 April 1968) adalah penerima Nobel, pendeta Baptis dan aktivis HAM warga Afrika-Amerika. Dia adalah salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan dalam sejarah non-kekerasan pada zaman modern, dan dianggap sebagai pahlawan, pencipta perdamaian dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia. Satu setengah dekade setelah pembunuhan terhadapnya pada tahun 1968, Amerika Serikat menetapkan sebuah hari libur untuk memperingatinya, Hari Martin Luther King.

King lahir di Atlanta, Georgia dari Pendeta Martin Luther King, Sr. dan Alberta Williams King. Dia lulus dari Morehouse College dengan gelar Bachelor of Arts (dalam bidang Sosiologi) pada 1948, dan dari Seminari Teologi Crozer di Chester, Pennsylvania dengan gelar Bachelor of Divinity (Sarjana Teologi) pada 1951. Dia meraih gelar Ph.D.nya dalam teologi sistematika dari Universitas Boston pada 1955.

King adalah seorang pendeta di Montgomery, Alabama yang berjuang melawan diskriminasi rasial. Dalam seluruh aksinya, ia mengikuti prinsip-prinsip Mahatma Gandhi untuk menghindari kekerasan. Untuk beberapa tahun, ia membuat kesuksesan besar, tetapi secara berangsur-angsur orang-orang kulit hitam muda untuk menjauhinya karena mereka tidak dapat menerima antikekerasannya. Sebaliknya, King tidak pernah berhenti dan meluaskan programnya.

Ia tidak hanya berjuang melawan diskriminasi orang-orang kulit hitam, tetapi juga menentang tanah milik dan Perang Vietnam. Kebesaran King terutama terletak pada impian tinggi dan gaya spektakulernya sebagai seorang pendeta. Ucapannya dengan judul "Saya memiliki sebuah impian" pada parade berbarisnya ke Washington, DC (28 Agustus 1963) membuatnya semakin terkenal. Ia dipuja dengan banyak gelar terhormat. Pada 1963, ia menerima Penghargaan Perdamaian Nobel. Ia ditembak hingga meninggal dunia ketika ia melakukan aksi di Memphis pada 4 April 1968. Guncangan dari kematiannya menyebabkan banyak kerusuhan dan bentrokan di berbagai kota di seluruh Amerika Serikat.

Labels:

Friday, August 10, 2007

Ayat-ayat Sompral...


Atas nama Moralitas bacot Surga Firdaus Versi Onanimu....
Kau kunyah terus saja wacana kesucian, di atas luka kemanusiaan...
Baiat Kafir yang kau sandangkan pada pluralitas kemanusiaan yang kau anggap anjing kudisan....
Brengsek...!!!!
Kau tanggalkan dulu jubah putih yang kau agungkan terus dengan sendirinya kau merasa akualah wakil tuhan...
Ha..ha..ha...
Busa cungur yang keluar dari mulutmu, dengan ritme teriakan kumandang pengatasnamaan pengenyahan setan...
Terus sajalah kau berkumandang, Dalam jengah kupingku mendengar teriakan sompral ayat-ayat kemunafikan..
Sekali lagi...
Satu..satu...Maju kalau kau berani... !!!!!
Apa bedanya kau dengan mereka yang teler bersembunyi di balik keampuhan vodka..
Lantas bedanya kalau kau sedikit imajiner mengatas namakan surga...
Kalau perlu Undang sekalian Tuhanmu dari alam antah berantahnya...
Ingin aku sampaikan padanya... hanya firman bacot yang kau sampaikan... !!!!
Melulu kau merasa maha tahu...
Di balik tameng hidayah bahwa sebenarnya kau tidak mau tahu...
Sertakan beserta malaikat-malaikatmu....
Aku ingin tahu kau tertawa atau murka...
Benarkah ayat-ayat pelenyapan kekafiran label halal darah kemanusiaan...???!!!!
Lantas Kalau begitu Siapakah Yang Bajingan..???!!!
Aaaarrgghhhhh...!!!!!

Labels:

Saturday, August 04, 2007

Hak Asasi Binatang 1


Hak Asasi Binatang 1

Seno Gumira Ajidarma

Dalam film Apocalypto yang disutradarai Mel Gibson, kita akan melihat manusia mengorbankan manusia lain demi penyembahan Dewa Matahari. Bila keyakinan lain yang mana pun merasa telah berbuat lebih manusiawi dengan tidak mengorbankan manusia, melainkan binatang, apakah pendapat binatang itu sendiri?

Kata Bapak Guru, binatang tidak berakal. Itulah sebabnya manusia yang berakal budi perlu mengembangkan akal budinya untuk menempatkan diri dalam sudut pandang binatang. Bagaimana kalau Anda baru enak-enak mencari makan ditangkap manusia dan disembelih atas nama peradaban mulia yang disebut beragama? Dalam konferensi burung-burung, seekor cucakrawa berkata, "Aneh betul perilaku manusia. Untuk upacara keagamaannya ia menyembelih makhluk lain. Kenapa ia tidak mengorbankan spesiesnya sendiri? Enak bener! Bilang makhluk lain lebih rendah derajatnya, lantas merasa berhak membuatnya jadi korban!"

Memang itulah pertanyaannya. Benarkah salah satu hak asasi manusia adalah membunuh makhluk lain, demi kelanjutan hidupnya sendiri secara spiritual dalam upacara agama, maupun secara jasmaniah dalam kehidupannya sehari-hari? Seorang anak kecil memegang kepala ayam goreng pada lehernya dan memainkannya seperti dalang. "Aku mungkin hidup lebih bahagia kalau kamu tidak sedang memakanku," katanya. Ada cerita tentang surga bagi binatang dan tentu saja teori bahwa makhluk yang berperilaku baik akan lahir kembali dalam derajat lebih tinggi.

Tentu ini memang hanya teori, yang juga akan terpertanyakan secara teoretik: "Apakah setelah menjadi makhluk tertinggi dan termulia lantas mempunyai hak berperilaku buruk, sehingga lahir kembali sebagai kuda, demi terpenuhinya suatu lingkaran sempurna?" Hmm. Cakra Manggilingan?

Pertanyaan semacam itu tidak bisa dan mungkin tidak perlu dijawab. Namun pertanyaan-pertanyaan tak berjawab mempunyai hak asasi untuk tetap disuarakan, demi terdengarnya pertanyaan itu sendiri.

***

Pagi yang indah diwarnai suara burung berkicau. Bukankah luar biasa makhluk yang bernama manusia ini, ketika dalam ketenangan dunia menikmati kemerduan suara burung, pada dasarnya ia merenggut kebebasan burung itu sendiri? Barangkali ia membeli burung itu di pasar burung. Ini berarti terdapat dua kemungkinan: apakah burung itu telah dijerat, ataukah burung itu telah dipelihara sejak menetas dari telur-yang jelas kemungkinan mana pun berakhir dalam sangkar.

Maka, benarkah suara kicau burung itu mewakili sambutannya kepada pagi yang cerah? Seperti makna yang dibebankan dalam lagu-lagu untuk anak kecil? Siapa yang bisa menjamin bahwa suara burung itu tidak mewakili derita seekor burung yang dengan sayapnya bisa terbang bebas di angkasa raya? Benarkah tidak mungkin, bahwa kicau burung yang menurut manusia begitu indahnya, ternyata mewakili kerinduan makhluk yang sebatang kara terpisah dari induk dan saudara-saudara seeramannya? Tak kurang-kurangnya manusia mengibaratkan nasib malang bagaikan burung dalam sangkar -mungkinkah itu hanya keindahan bahasa pada lidah tak bertulang?

Bahwa kemudian terdapat rekaman suara kicau berbagai burung, yang sebagai kualitas bunyi musikalitasnya memang luar biasa, belumlah tentu bisa dianggap mengurangi dosa, mentang-mentang tidak berasal dari burung dalam sangkar -karena ini juga bisa dimaknai sebagai eksploitasi dalam ketidakbebasan makhluk lain yang cukup kurang ajar. Penjual dan pembeli menanggung dosa peradaban yang sama.

***

Melarang orang memakan pecel lele akan disebut melanggar hak asasi manusia, bukan? Begitu juga melarang, apalagi menghukum,jual beli perkutut, poksay, jalak, podang, murai, dan lain sebagainya di pasar burung, justru akan dianggap kurang beres pikiran. Benarkah berbahagia di atas penderitaan makhluk lain merupakan hak asasi manusia?

Mari kita berpikir.

Labels:

Hak Asasi Binatang 2


Hak Asasi Binatang 2

Seno Gumira Ajidarma

Sebetulnya saya tidak tahu banyak tentang binatang dan tampaknya juga tidak tahu terlalu banyak tentang manusia. Namun, saya mempunyai gagasan bahwa sikap kita terhadap binatang mencerminkan diri kita sebagai manusia. Bisakah diterima, misalnya, seseorang yang kita kenal sebagai pembela hak asasi manusia, kemudian kita lihat menendangi seekor anjing, melulu karena dalam anggapannya (tanpa memeriksa dan merenungkan secara cerdas sumber apa pun) bahwa anjing itu binatang yang najis?

Katanya manusia itu makhluk yang mulia. Lebih mulia dari binatang, bukan sekadar karena berotak lebih baik, melainkan karena otak tersebut dipersembahkan kepada kemuliaan perilaku dan budi pekerti di dalam dunia -termasuk tentunya dalam sikap terhadap binatang.

Namun, itulah masalahnya. Apakah yang telah terjadi dengan flora dan fauna di bumi semenjak manusia sadar atas keberadaan otaknya untuk menggali segala kemungkinan di dunia dalam hidupnya? Itu bisa disebut Pencerahan, itu bisa disebut Modernisasi, tetapi saksikanlah akibatnya.

Dengan segala kelebihannya, manusia ternyata belum lebih baik daripada binatang. Bahkan dengan segala kelebihannya itu, sampai detik ini, manusia masih menghalalkan pembunuhan - yang menjadi lebih parah karena mengatasnamakan segala kebaikan, dalam kesukuan, kebangsaan, bahkan sampai agama. Harapan macam apakah yang masih sahih kita miliki dalam dunia semacam ini? Bagaimana caranya kita menjadi lebih baik dari binatang, yang memang tidak pernah disalahkan jika saling membunuh demi kelanjutan hidup?

Sudah waktunya kita mempelajari hak asasi binatang, karena menurut saya sedikit banyak akan menunjuk dan mempersoalkan hak asasi kita sebagai manusia juga, terutama bagaimana kita telah mempergunakan hak tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya, binatang sering dijadikan eksperimen, mulai dari uji coba obat sampai pesawat luar angkasa. Dalam uji coba itu binatang diandaikan tidak apa-apa kalau sakit, menderita, dan ujung-ujungnya mati. Pada abad XIX di Inggris berlangsung oposisi atas percobaan-percobaan semacam itu, sejauh jika binatang tersebut tidak disuntik antirasa atau anestesi. Sekarang, tanpa maupun dengan anestesi, pemanfaatan binatang untuk uji coba apa pun, ilmiah maupun komersial, ditolak - sampai ada pernyataan dalam salah satu merek botol shampoo, "Tidak Menggunakan Binatang Apa Pun untuk Uji Coba".

Bukan hanya untuk eksperimen, tetapi untuk diternakkan, dipelihara, dan dimasukkan kebun binatang pun, kesahihan manusia melakukannya dipersoalkan - tentu termasuk juga "hak asasi manusia" untuk menelan binatang-binatang itu sebagai makanan huenak tenan dalam peradaban nan canggih. Kita akan melacaknya sekilas pintas satu persatu.

Nah, apa persoalannya dalam memelihara binatang?

Perhatikanlah seekor jaing yang telah dibeli dengan mahal dan juga mendapat makanan jaing impor nan mahal. Makanannya tentu beres dan ia pun sangat disayangi oleh majikannya. Dipeluk, diciumi, dan mungkin saja tidurnya satu ranjang. Namun jaing ini ternyata kesepian. Kenapa? Pertama, karena jaing di negeri miskin seperti Indonesia ada yang memburunya di perkotaan, baik untuk dimakan maupun sekadar dibunuh karena kebodohan-akibatnya ia terkurung dalam rumah; dan hanya menikmati jalan-jalan 15 sampai 30 menit tiap hari, sebelum dan sesudah majikannya pulang dari tempat pekerjaannya. Kedua, karena pemilik jaing mahal tentu juga orang sibuk, sebetulnya kontak antara mereka juga terlalu sedikit.

Jadi, jaing ini secara jasmaniah saja terpelihara, dengan sangat baik malah dibanding manusia-manusia Indonesia yang kismin, tetapi secara rohaniah jelas termiskinkan, karena hidupnya yang terkurung dan "tidak seperti layaknya jaing": Bebas berkeliaran, bebas mencari makanan, dan tentu saja bebas kawin.

Lho, apakah jaing punya rohani? Kita akan perbincangkan ini di kolom berikutnya. Untuk sekarang, cukup kita ketahui, memelihara binatang atau hewan tetap dianggap layak, tetapi jika memenuhi dua syarat: (1) Kebutuhan dasar jasmani dan rohaninya harus dipenuhi; (2) Binatang tersebut harus mendapat kehidupan yang setidaknya sama baik seperti jika beliau hidup secara bebas. Bayangkan saja bagaimana rasanya jika kita sendiri tidak mendapatkan dua hal tersebut. Jika kita tidak akan melakukannya kepada binatang, mestinya kita percaya diri tidak akan melakukannya kepada manusia lain. Meski, tentu saja ironis, dan ini sering kita saksikan, seseorang yang sangat menyayangi binatang peliharaannya, ternyata tega bersikap kejam dan tidak manusiawi terhadap sesama manusia lawan-lawan politiknya. Teori saya belum-belum sudah gugur: Sikap kita terhadap binatang ternyata bisa tidak mencerminkan sikap kita terhadap manusia.

Labels: