Revolusi Tai Kucing

Mencari Kemungkinan, Dalam Ruang Ketidakmungkinan
Ritme Dialektika Sebuah Kenihilan..
Selamat Tinggal Pengatas namaan Segala Bentuk Pelabelan....
Selamat Datang Absurditas, Dan Lahir Menjadi Realitas..

Thursday, July 26, 2007

Seorang Anarkis Yang Sibuk Bikin KTP


Ingin aku tertawa ngakak, kalau saja tidak melihat di sekitarku, dan terpaksa tertawaku aku tahan, karena takut nantinya ada yang tersinggung, kenapa alasan..???

Karena mendengar salah satu teman yang lagi ribut mau bikin KTP, dari mulai dia mengeluh soal mahalnya, terus males ngurusnya, terus juga mengenai birokratis yang berbelit-belit.

Sekilas memang tidak ada yang aneh, ada orang yang bikin KTP, terutama di Indonesia.

Anehnya adalah dengan temanku itu sendiri, karena sebelumnya dia pernah mengatakan, bahwa dirinya cocok menjadi seorang anarkis, dan memang hal seperti itu harus dipraktekkan, dalam kehidupan ini, juga dia berkelakar ingin mencoba mempraktekkan model kehidupan tanpa institusi ataupun aturan.

Lebih ekstrim adalah dengan pelenyapan Negara sebagai bentuk otoritas institusi sentral.

Begitu dia menjelaskan, dengan argumentasi layaknya seorang pakar, dan aku hanya mendengarkan. Dengan sesekali menganggukkan kepala, walaupun sebenarnya banyak hal yang aku pikir sungguh sangat tidak ilmiah.

Tapi waktu itu aku lagi males berdiskusi lebih jauh untuk berdebat.

Dan hitung-hitung aku lagi dapet mata kuliah Anarkis dari temanku itu tadi, itu terjadi tempo beberapa bulan nyang lalu.

Setelah itu dia mengutarakan niatnya untuk bikin KTP karena alasan beberapa hal, agar mudah ngurus ini itulah, begitu dia menjelaskan.

Aku bergumam dalam hati, “apakah kau lupa, katanya kau mau jadi anarkis, ya tentunya harus tahu resikonya lah, kalau mau jadi anarkis”

Kalaupun aku utarakan, mungkin jawabannya tidak jauh sekitar, “ ya dalam hidup ini sedikitnya kita perlu kompromi”

Serta merta aku teringat dengan ucapan seorang teman tuaku juga, bahwa tidak mudah untuk lurus dan benar, untuk tidak selingkuh.

Kemudian aku bertanya lagi dalam hati, “lha ngapain loe ngaku-ngaku Anarkis, kalau masih ribut bikin KTP, atau ribut nyari kerja, Atau….”

Akh…apakah memang selingkuh dalam hidup memang diperlukan…????

Dan apakah kompromi juga termasuk selingkuh…???

Labels:

Friday, July 13, 2007

Kampanye Penuntasan Kasus Trisakti, Semanggi I dan II


Kekerasan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia sampai saat ini masih begitu nyata, rentetan dan runtutan dalam setiap tahun adalah tragedi kemanusiaan atau sebuah perjuangan keadilan untuk mengungkap tragedi kemanusiaan itu sendiri. Termasuk penembakan mahasiswa tahun 1998 (Trisakti, Semanggi I, semanggi II ) yang sampai sekarang tidak jelas letak peradilanya.


Bahkan pernyataan tentang Tragedi Trisakti, Semanggi I, semanggi II tahun 1998 bukan pelanggaran HAM berat sungguh satu hal yang ironis.

Bagaimana tidak , ketika yang menyuarakan itu adalah sebagian wakil rakyat yang harusnya ikut ambil peran dalam penyelesaian setiap pelanggaran HAM.

Sebab satu saja orang mati dikarenakan tindak represifitas adalah sebuah pelanggaran HAM.

Dan sejak rezim Orde Baru Soeharto, sejarah indonesia telah menjadi perjalanan dengan penuh kekerasan.

Mulai dari pembungkaman atas hak berorganisasi dan menyatakan pendapat, penghilangan dan penculikan aktivis, hingga penyiksaan dan penembakan yang juga didukung oleh struktur kekuasaan represivitas militeristik.

Tingginya tingkat reprisifitas rezim tidak menyurutkan keinginan untuk sebuah perubahan, gelombang aksi dan penolakan terhadap rezim semakin menggelembung setiap saat.

Praktik-praktik kekerasan selalu digunakan oleh rezim otoriterian dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dengan dalih mengendalikan situasi dan mengamankan massa. Padahal dengan demikian tidak ada sedikitpun rasa aman yang di dapatkan. Kasus Trisaskti pada 12 Mei 1998, Semanggi I pada 8-14 November 1998, dan Semanggi II pada September 1999.

Adalah bukti nyata dari tindak kekerasan yang dilakukan rezim otoriterian dengan mengerahkan kekuatan militeristik !!

Pelanggaran berat HAM telah terjadi dengan sistematik, hingga proses hukum dan peradilan pun tak bisa berkutik.

Kasus Trisakti, Semanggi (I), Semanggi (II) belum selesai. Kekerasan dengan bentuk apapun harus dihilangkan. Pelaku atas tindak kekerasan harus diusut dan dihukum, tak terkecuali dalang dari semua bentuk kekerasan ini. Tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, adalah sebagian dari kasus
kekerasan politik yang belum tuntas. Kita menuntut kasus ini diselesaikan secara hokum, bukan secara politis. Hal ini menjadi masalah yang harus segera diselesaikan Pemerintah sebagai upaya pembuktian terwujudnya keadilan hukum bagi seluruh warga Indonesia, tanpa kecuali. Jangan Diam..!!! Segera Tuntaskan, Tragedi Trisakti, Semanggi (I), Semanggi (II).

Labels:

(Mohon Maaf Untuk Kenyamanan Anda, tulisan masih amburadul dan Belum Diedit)


Aku Bukan Mahasiswa...

Pada mulanya memang tidak ada pembedaan yang berarti antara apa yang mendukung secara sepenuhnya ataupun hanya untuk, meyakinkan khalayak bahwasanya hanya ada sesuatu yang patut di dukung ala kadarnya.

Adalah waktu juga yang akan menentukan sejauh mana komitmen awal dari sebuah janji “kampanye”.

Sungguh tidak etis mengatakan bahwasanya, dari hasil yang sekarang, ketika dirasa memberatkan, mengatakan bahwa kami dulu tidak ikut memilih, makanya sekarang tidak ada tekanan moral bagi kami untuk menentang kebijakan tersebut.

Terlepas dari memilih atau tidaknya, atau bahkan mendukung atau tidaknya dengan keputusan yang ada.

Bahwasanya dikatakan, adalah lingkungan kita adalah lingkungan “demokratis”

Untuk dengan sepenuhnya mendukung siapapun nanti yang akan menduduki “singgasana”.

Dan kembali lagi, ternyata pembuktiannya adalah jauh dari sebuah aturan main dari sebuah wacana dari “demokrasi” itu sendiri.

Mungkin satu yang cukup memalukan adalah tidak adanya pembelajaran dari sebuah wacana sejarah masa lalu.

Walaupun sedikitnya juga kita masih riskan dengan sejarah kita sendiri apakah itu sebenarnya yang terjadi pada masa itu.

Ada hal yang cukup menarik adalah ketika adanya upaya untuk selalu mengganti yang baru dengan adanya sebuah permasalahan baru, padahal itu adalah sebuah pembuktian dari seberapa jauh kinerja rejim yang ada dalam hal menanggulangi permasalahan yang ada.

Kalu begitu adanya yang terjadi adalah sebuah pergantian satu blok dengan blok lain tanpa adanya nilai lebih yang ada, dan begitu seterusnya.

Memang tanpa disadari,

Dan itu sudah terjadi mungkin ketika belum menyadari itu dan serkarang ketika sudah menyadarinya, pun kita masih enggan untuk melakukan suatu langkah dalam rangka sedikitnya merubah satu langkah ke depan saja, guna sekedar perbaikan ala kadarnya.

Ada baiknya memang selalu bercermin pada satu langkah lalu yang sekiranya, membuat kita agak mengingatkan untuk kembali berhati-hati.

Ya….dan agaknya memang kita sulit lepas dari sebuah tatanan status quo, yang selama ini mengikat baik dalam hal tradisi, berpikir, ataupun untuk sekedar “bermesraan” dengan sistem ideologi yang kita anggap sebagai tuhan tunggal dalam kehidupan kita.

Dan lagi, sudah lumrah kita menganggap sebuah kebenaran itu adalah hasil dari persepakatan dari sebuah suara terbanyak, dan tidak lebih.

Dalam artian, kita tidak akan banyak bertanya apakah itu sebuah kebenaran ataukah hanya sebuah pembenaran

Kita sering berhenti dalam tahap vonis suara terbanyak tidak lain.

Kita juga mungkin lupa apakah suara terbanyak itu berdasarkan dari sebuah kesepakatan dari orang-orang yang mengutamakan kebenaran atau hanya pembenaran saja.

Memang kita semuanya tahu bahwasanya kekuatan tertinggi adalah suara mayoritas itu sendiri.

Padahal mungkin juga anda sadar bahwa kebenaran adalalah suatu hal yang relative, untuk diungkapkan, katanya…….

Dan memaksakan itu menjadi sebuah kebenaran umum yang seharusnya diterima oleh semua yang ada tanpa terkecuali.

Lucu memang kalau kita melihat dari sisi ini yang agaknya tidak akan habis dibahas dalam berbagai seminar ataupun diskusi.

Di lain pihak” mengatakan tidak akan berjalanya dari sebuah kebenaran itu tanpa adanya paksaan dari pihak pembuat kebenaran itu untuk mengaplikasikanya kepada publik.

Dan “mereka” mengatakan kepada publik tentang kebenaran itu adalah sebagai satu yang seharusnya dijalankan bersama untuk nmenghasilkan satu sistam masyarakat yang adil merata, katanya…..

Yang lumrah “mereka” mengatakan itu sebagai peraturan bersama yang sewajarnya memang sifatnya memaksa.

Dan mungkin yang lebih kita kenal sebagai peraturan publik.

Dan itu sudah menjadi semacam satu cekokan di dalam hidup bermasyarakat kita.

Tetapi yang sering menjadi masalah adalah tidak meratanya satu “peraturan” itu sendiri kepada semua lapisan masyarakat.

Mungkin kita lebih banyak mendapati satu “peraturan” yang timpang, baik dalam hal pelaksanaan, maupun dalam sangsi yang dilimpahkannya.

Ya…mungkin kalau kita peduli dengan rangkaian peristiwa di dalam negeri ini, sedikitnya ada satu permasalahan yang kadang malah korban pun menjadi korban,

Ibarat pepatah mungkin sudah jatuh tertimpa tangga.

Memang sulit kalau urusannya sudah berkaitan dengan militer.

Dan kita juga bisa mengamati, dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan militer, hanya beberapa gelintir saja yang urusanya bisa dikatakan “beres”.

Kita juga semua menyadari kiranya, berapa banyak aktivis kemanusiaan yang mendapat teror baik itu fisik maupun maupun mental yang mereka dapatkan untuk mengurusi satu masalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat kecil versus militer.

Mungkin juga yang kita sesalkan adalah ketika militer sudah menjadi semacam body- guard bagi mereka yang sanggup membayarnya, dan siapa lagi kalau bukan kaum “borjuis” negeri ini semacam konglomerat yang kaya mendadak dapat proyekan penggusuran tanah rakyat yang mengatasnamakan sebagai satu langkah pembangunan, atau kalau tidak mengatakan sebagai konswekensi dari sebuah tata ruang kota.

Berapapun banyak alasan yang diungkapkan, tetap pertanyaanya adalah dimana sisi kemanusiaan yang katanya dijunjung tinggi di negeri ini, yang semua kepentingannya diperuntukkan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyatnya.

Dan pertanyaanya lagi adalah kemakmuran rakyat yang mana, jika mereka selalu menjadi tumbal dari sebuah pembangunan yang ada.

Melihat itu semua bukan tidak ada sebuah proses untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik.

Dan itu semua berjalan dengan seiringnya waktu yang berjalan, dan bukannya tidak ada perubahan yang terjadi.

“Cuma yang terjadi adalah kita masih belum bisa untuk melahirkan seorang pemimpin yang mampu memimpin negeri ini walaupun perubahan yang ada berjalan walaupun tidak semulus yang diinginkannya”, begitu kalau seorang Pramoedya Ananta Toer berungkap.

Yang menarik disini adalah sebuah roda pergerakan menuju satu perubahan yang dimotori oleh pemuda ataupun mahasiswa sebagai penggeraknya.

Ada yang menarik kalau berbicara tentang mahasiswa itu sendiri, yang menarik adalah

Ketika kita melihat dari perjalanan sejarah “kaum intelaktual” ini, ketika mereka “menggugat” rejim-nya Soekarno sampai akhirnya presiden Soekarno turun, dengan ditolaknya pembelaanya dalam rapat umum MPR.

Dan digantikan oleh presiden Soeharto sesudahnya. Dan juga pergantian itupun menyisakan misteri terkait dengan “Supersemar”, yang sampai sekarang menyisakan banyak pertanyaan.

Ya…..tersebut juga pada waktu itu kiranya peranan mahasiswa mewakili pemuda Indonesia, yang mungkin dari sinilah kiranya elemen mahasiswa umumnya dikenal sebagai satu motor atau lokomotif sebuah perubahan yang ada.

Baik itu secara langsung ataupun tidak langsung.

Atau lebih beken mereka dinamakan sebagai kaum intelektual yang merakyat.

Dan setelah masa Presiden Soekarno usai, yang menyisakan banyak kejanggalan dan tanda tanya.

Mahasiswa (yang menggugat Soekarno) pada waktu itu yang begitu “idealis” dengan sesuatu yang mereka usung.

Kemudian pada gilirannya memasuki jenjang yang mereka lupa akan apa yang mereka usung dulu, ketika jabatan sudah ada di tangan mereka dan segala kemudahan memungkinkan mereka untuk otomatis melupakan apa yang menjadi masalah bangsa ini

Yang mereka mungkin menyakini bahwasanya itu adalah satu perjuangan panjang menuju masyarakat Indonesia yang adil dan merata, atau yang sering kita dengar sebagai sebuah masyarakat madani, katanya…….

Menyadari itu adalah sebuah perjuangan panjang yang tentu saja membutuhkan banyak pengorbanan, ada baiknya mungkin mereka berfikiran “realistis” dalam menjalaninya.

Itulah satu tahapan, yang kemudian menyusul bahwa mereka yang “mantan mahasiswa idealis” itu, ditentang kembali oleh kaum penerusnya yang juga sama-sama berpredikat “mahasiwa idealis”.

Masih tetap sama, membicarakan tentang sesuatu yang “idealistis”, saya sendiripun sebenarnya bingung tentang apa “idealis” itu sendiri.

Sebenarnya idealis atau tidaknya itu ditentukan dari apanya, lantas bagaimana yang idealis itu, dan untuk apa, atau apa untungnya sebenarnya idealisme itu dimiliki.

Dan mungkin anda mempunyai jawaban yang lebih tepat untuk itu.

Dan itulah kembali lagi kita bicara soal sejarah.

Sebenarnya tulisan ini bukan untuk membahas masalah sejarah.

Tetapi mau tidak mau kemudian “katut” juga.

Lantas kalau begitu apa yang sebenarnya mau ditulis……

Entahlah……. mungkin hanya serentetan kepenatan pikiran berkumpul tanpa ada literatur yang memadai, selain hanya mengandalkan apa yang diketahui oleh penulis yang banyak kurang membaca.

Hanya serentetan kebingungan yang diakibatkan oleh kebodohan penulis.

Berangkat dari sebuah kebodohan inilah penulis mencoba “berkelakar” yang sebenarnya adalah permasalahan yang tidak begitu penting, yaitu tadi….. tentang masalah “idealis”.

Dan ketika saya membaca disalah satu jurnal pers mahasiwa terbitan Bandung di salah satu kolomnya, ada uraian yang mempertanyakan tentang “akan sampai kapan sebuah idealisme itu akan kau pakai kawan…… apakah ketika kau masih berpredikat sebagai mahasiswa saja.

Dan sepertinya sebuah “idealisme” itu sendiri membutuhkan sebuah pertanggungan-jawab yang tidak sepele, begitu yang bisa saya tangkap dari uraian itu.

Dan entah “idelisme” yang mana.

Tetapi teman saya bilang, “idealis, ya idealis….. tetapi harus realistis”.

Ya, sepertinya itu konteks mahasiswa pada umumnya, ketika membicarakan sebuah wacana.

Dan itupun hanya segelintir kiranya yang peduli tentang kesemuanya.

Di samping kebanyakan dari mereka lebih suka untuk mengekspresikan diri di kampusnya sebagaimana, “borjuis-borjuis kecil”.

Karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk mendapat predikat “mahasiswa” itu sendiri

Di jaman wajib pendidikan sekarang ini.

Tetapi maaf, saya bukan mahasiswa……

Labels:

Merdeka …???

Tidak selamanya rasa muak itu negatif, dari rasa muak mungkin bisa membawa hal yang positif setidaknya itu bisa membuat dorongan dalam rangka sebuah pengemasan menarik kepada yang “kontra” dari kemuakan itu sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi, dewasa ini yang terlihat di berbagai media masa ataupun yang kita lihat sendiri.

Jujur, mungkin lebih banyak rasa muak yang ada daripada suatu kepuasan yang benar-benar memang memuaskan.

Negative thinking kah………????

Bisa benar, itu dikatakan seperti itu, karena memang adalah sesuatu yang melihat dari kacamata yang negative saja, atau yang buruk saja.

Tinggal masalahnya adalah bagaimana jika keadaan itu memang benar-benar buruk dalam artian bukan hanya dari sisi pelihat atau sisi yang melihat tetapi karena adanya realita yang memang tidak bisa dikatakan baik atau belum sesuai.

Rasa muak melihat korupsi yang bukan menjadi rahasia umum lagi, rasa muak mendengar janji-jani petinggi negeri ini yang mencanangkan tentang penghematan tetapi itu dikatakan bersamaan dengan hajatan besar-besaran salah satu anggota keluargannya, pun dilakukan di “istana” Bogor lengkap dengan gemerlap pesta dan riuh renyah kaum berduit yang begitu menusuk saudara-saudara kita yang sedang mengalami gizi buruk atau lebih tepatnya penghalusan dari wabah busung lapar.

Muak melihat dan mendengar lagi tawaran dari anggota wakil rakyat yang mencoba menaikkan gajinya, eh maaf….kenaikan tunjangan maksudnya….

Muak menanti sebuah kepastian tentang kasus-kasus yang begitu jelas dan lama kelamaan memudar seiring berjalannya waktu yang mencekoki dengan racun lupa ingatan tanpa kita sadar bahwa itu telah terpetieskan, atau telah ada islah katanya, dari pihak yang bersangkutan.

Tak jelas mana yang islah dan mana yang diislahkan (baca memaafkan).

Sesederhana seperti itukah…..????

Lantas kalau begitu, ketika kita melihat tidak semua rasa muak yang ada membawa sebuah “keburukan”, mungkin begitu juga dengan pernyataan maaf atau memaafkan bisa juga tidak seutuhnya baik……

Adalah sesuatu yang ada dan tidak menjadi semacam haluan yang yang paten, seperti halnya menjadi harga mati dari sebuah identintas.

Ya, harga mati sebuah identintas……..seperti halnya ketika identintas melekat pada kaum “pimpinan agama” apakah lantas berarti juga otomatis menjadi manusia yang “agamis”, peka pada keadaan sekitar, terasah nuraninya…….

Atau juga yang melekat identintas bagi diri mereka yang katanya wakil rakyat, apakah menjadi jaminan pula mereka benar-benar merakyat.

Ya…..satu ungkapan ( merakyat ) yang jarang kita dengar lagi gaungnya.

Mungkin lebih tenar dengan kata rakyat itu sendiri daripada kata merakyat.

Mengapa…..??????

Karena lebih mudah diucapkan dan dimanipulasi……

Bukan berarti kata merakyat tidak mudah diucapkan, sebab ini akan muncul dengan sendirinya dari rakyat itu sendiri ketika melihat wakil rakyatnya benar-benar merakyat…….

Begitu carut marutnya setiap permasalahan yang ada, kadang membuat semacam suatu rasa apatis bahwasanya apakah “republik” akan bertahan lama, bertahan lama dalam menjadi republik, bertahan lama eksis, bertahan lama dalam mengemban suatu amanat kemerdekaan, yang sampai saat ini entah kemerdekaan yang seperti apa.

Dan apakah juga harus berjalan suatu logika bahwasanya ketika kita ingin merasakan rasa sehat harus sakit dahulu.

Begitu juga apakah harus merasakan sebuah kemerdekaan kita harus merasakan sakitnya dijajah.

Yang lebih ironis adalah ketika sekarang dijajah dan kita merasa merderka.

Merasa berdaulat, adil makmur, berperadaban, bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bangsa yang gemah ripah, loh jinawi, dan segala tetek bengek lainnya, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ya…. kita dijajah, tapi selalu memperingati hari kemerdekaanya, artinya mungkin kita merasa bahwa kalau dijajah adalah secara “frontal” dengan menggunakan senjata dan menguasai tempat tertentu.

Berarti kalau kita punya utang luar negeri yang besar itu bukan bentuk sebuah penjajahan, kalau kita menjadi korban mode dan gaya hidup itu juga bukan bentuk sebuah penjajahan.

Sebab apa….????

Karena kita sudah memproklamirkan tentang kemerdekaan itu sendiri…..

Kapan……..?????

Ya, dulu pas tanggal 17 Agustus 1945, bahkan ada lagunya segala malah…. Ada juga satu ungkapan di jaman sebelum kemerdekan itu sendiri mengenai

“merdeka atau mati” atau ungkapan-ungkapan lain mengenai betapa mahal dan berharganya dari sebuah kemerdekaan itu.

Dan setelah merdeka, bahkan sampai 60 tahun sekarang ini

Ternyata banyak menampilkan fenomena yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negeri yang merdeka.

Sebuah paradoks setiap kali peringatan kemerdekaan itu sendiri selalu diisi dengan kegiatan ala “takeshi castle”, yang begitu membudaya di masyarakat kita.

Semacam kegiatan bak perlombaan anak-anak yang hanya memperebutkan hadiah “ecek-ecek”.

Apakah memang makna dari sebuah kemerdekaan bisa diminiaturkan demikian.

Apakakah memang makna perjuangan bisa tercerminkan dari hal yang demikian.

Mungkin ibaratnya seperti sebuah “pelarian dari masalah”, ketika ternyata kemerdekaan itu sendiri tidak atau belum sesuai dengan kehendak rakyat yang memimpikan sebuah kemerdekaan yang dapat terasakan.

Kemerdekaan dalam hal pendidikan, kemerdekaan dalam hal kesehatan, kemerdekaan dalam hal menentukan nasibnya.

Kemerdekaan untuk tidak digusur, kemerdekaan dari busung lapar, kemerdekaan dari korupsi yang menjadi “trade mark” negeri ini.

Ibaratnya mungkin tidak jauh dengan burung onta, yang mempunyai senjata pamungkas ketika dia merasa terancam dengan mencelupkan kepalanya ke dalam lumpur, dan merasa aman dari bahaya musuh.

Padahal secara tidak sadar, musuh dengan mudah mengintainya dan siap menerkam setiap saat.

Dan masihkah terus kita memekikkan dengan lantang…..

Merdeka…..!!!!!

Labels:

Suara Terbanyak

Terlalu mudah memang untuk menilai segalnya dari penilaian luarnya saja.

Atau kadang hanya menggunakan itu sebagai vonis pemberlakuan atas nama sebuah kebenaran, katanya.

Memang sulit untuk membedakan mana kebenaran dan mana yang hanya pembenaran saja.

Tentunya dengan sebuah kebenaran umum pula bahwasanya kebenaran adalah nilai suatu yang relative, dan juga dengan ditasbihkannya bahwa suara mayoritas adalah suatu kebenaran tertinggi. Terlepas lagi apakah suara mayoritas itu sendiri adalah suatu kebenaran hakiki.

Seiring dengan pertanyaan itupun, kiranya menjadi unek-unek penulis dalam mencurahkan segala isi hati yang ada di dalamnya.

Tetapi sedikitnya ada yang menarik untuk disimak, tentang sebuah cerita klasik, yang penulis baca dari buku cerita anak-anak.

Satu cerita yang biasanya di dongengkan oleh orang tua dulu kepada anaknya, ketika menjelang tidur.

Yang belum banyak hiburan-hiburan yang tidak menghibur, yang sering kita saksikan

Dalam layar kaca, terutama sinetron-sinetron kita yang banyak menampilkan kehidupan cengeng dan cengengesan.

Ceritanya begini;

Ada seorang petani yang mempunyai seekor domba yang bagus.

Ia amat sayang pada dombanya, ia senang bermain-main dengan domba itu dan kerap menimang-nimangnya, bak seeorang bayi saja.

Pada waktu domba itu makan, sang petani suka memberinya rumput dengan tangannya.

Suatu ketika, terjadilah krisis moneter berat yang berkepanjangan di negerinya.

Untuk menyokong hidupnya sendiri dan keluarganya, terpaksalah petani itu menjual harta bendanya.

Meski harta bendanya sudah habis, namun krisis moneter ternyata belum teratasi.

Keadaannya bukan makin membaik, sebaliknya malah makin memburuk.

Dengan amat berat hati, akhirnya petani itu mengambil keputusan menjual dombanya.

Rencana petani untuk menjual dombanya ternyata terdengar oleh tiga penipu.

Mereka lalu menyusun rencana untuk memperdayainya guna mendapatkan dombanya.

Keesokan harinya, petani itu memanggul dombanya di bahunya untuk dijual ke pasar.

Belum satu kilometer ia berjalan dari rumahnya, penipu A mendekatinya dan berkata.

“Hai, pak,” kata penipu itu.

“Mengapa kamu memanggul anjing itu ke pasar?”

Petani itu memandang penipu itu lalu berkata:

“Enak saja! Domba dikatakan anjing. Ini bukan anjing, ini domba yang bagus.

Aku akan menjualnya ke pasar.”

Meski tak percaya akan kata-kata penipu A itu, namun orang itu sudah mulai ragu-ragu akan binatang yang dibawanya.

Maka setiap jalan beberapa langkah, ia menurunkan dombanya dari pundaknya dan mengamat-amatinya.

Tak lama kemudian, penipu B muncul di jalan dan berkata kepada petani itu:

“Alangkah bagusnya anjingmu, akan kau bawa kemana anjingmu itu?”

Mendengar kata-kata penipu B itu, petani itu menurunkan domba dari bahunya dan mengamatinya lebih dekat lagi.

Sesudah memanggul kembali dombanya, orang itu berkata:

“Sembarangan saja !” jawab petani. “Ini bukan anjing, ini domba.

Aku akan menjualnya ke pasar.”

Beberapa puluh meter sebelum sampai di pasar, penipu C menghentikan jalannya dan berkata kepadanya:

“Pak, aku tidak yakin bahwa bapak akan diperbolehkan membawa anjing masuk ke dalam

Sangat kebingungan dan tidak yakin lagi akan binatang yang dibawanya, petani itu menurunkan dombanya dan meletakkannya di jalan.

“Jika tiga orang mengatakan bahwa hewan yang aku bawa ini anjing dan bukan domba, pastilah mereka benar, hewan ini pasti anjing.”

Lalu pergilah petani itu dengan meninggalkan domba itu di jalan, dan pulanglah ia.

Seandainya saja sebelum pulang petani itu menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, maka ia akan melihat tiga penipu yang membawa pergi dombanya ke sarang mereka.

Itulah satu cerita klasik, yang menarik sebagai bahan pertimbangan kita semua, agar kiranya kita tidak mudah terjebak dalam suatu wacana “suara terbanyak”.

Dan mungkin hikmah yang dapat kita ambil adalah, pendapat mayoritas belum tentu benar, bahkan mungkin digunakan untuk meniadakan kebenaran dan menipu.

Dan sepertinya itulah wacana yang sering kita dengar akhir-akhir ini mengenai kebijakan-kebijakan wakil rakyat kita di senayan sana.

Seperti mungkin kebijakan kenaikan BBM, dan ditariknya subsidi yang ada di dalamnya.

Karena katanya dengan dinaikkan harga BBM sedikitnya kesejahteraan rakyat akan meningkat walaupun hanya beberapa persen.

Sebab selama ini subsidi BBM hanya dinikmati dari kalangan menengah ke atas.

Katanya itu dulu, dan sekarang kenaikan harga BBM akan diimbangi dengan kompensasi subsidi pendidikan dan kesehatan.

Tapi yang terasa sekarang adalah harga-harga naik sementara tidak tahu kapan kompensasi itu akan dijalankan.

Ya…mungkin saya sebagai rakyat biasa tidak tahu bagaimana mekanisme kinerja berjalannya subsidi itu sendiri.

Dan katanya semua kebijakan yang ada pun untuk rakyat seutuhnya.

Sampai-sampai mereka kisruh di DPR pun hanya karena membela rakyat.

Masing-masing sama mengatasnamakan rakyat.

Dan hasil apapun keputusan yang ada pastilah nantinya berdasarkan hasil suara terbanyak mereka, yang sebelum naik BBM sendiripun mereka sudah meminta kenaikan gaji sebesar 50%.

Dan masihkah ada harapan kiranya untuk mereka tidak mementingkan suara terbanyaknya.

Melainkan suara banyak rakyat Indonesia seperti penulis sendiri yang jangankan meminta kenaikan gaji, berusaha menaikkan jenjang pendidikan saja ngos-ngosan. Dan masihkah anda selalu percaya dengan suara terbanyak yang ada, apapun konteksnya.

Lantas berakhir dengan seruan setuju……!!!!

“Karakter adalah kekuatan terpenting yang menentukan nasib bangsa.

Dan karakter yang kuat mustahil dimiliki mayoritas” (M. IQBAL)

Labels:

Anarkisme : Paham Yang Tak Pernah Padam


Anarkisme : Paham Yang Tak Pernah Padam

Dari Pustaka Otonomis


Oleh Alm. Mansour Fakih

Selama ini, mendengar kata Anarkisme disebut, banyak orang segera merasa gelisah dan cemas, terbayang suatu kelompok manusia bringas yang siap menebarkan keonaran, kekacauan, kehancuran dan malapetaka. Meskipun pada umumnya orang hanya secara intuitif, tanpa tidak pernah mencoba menggali lebih seksama tentang apa yang disebut sebgai pandangan Anarkis tersebut, Namun istilah anarki sendiri sudah terlanjur menimbulkan kemarahan dan terlanjur secara luas disimpulkan bahwa anarkisme adalah sebagai suatu paham yang menakutkan karena jahat. Orangpun tanpa berpikir panjang percaya bahwa Anarkisme adalah negatif dan berbahaya, titik. Pendek kata, dalam memandang anarkisme, tidak hanya apparatus negara, bahkan masyarakat akademia, bersepakat bahwa Anarkisme adalah musuh umat manusia. Dengan demikian keyakinan yang mendominasi pemikiran masyarakat luas adalah bahwa “anarkisme” tidak lebih dari penyakit sosial yang bertentangan dengan segala norma sosial yang baik dan pantaslah jika anarkisme dianggap musuh masyarakat. leh karena itu dianggap wajar juga untuk menganjurkan untuk memberantas Anarkisme sampai keakar-akarnya. Anjuran untuk senantiasa waspada terhadap segala bentuk anarki saat ini telah menjadi hampir kesepakatan sosial. Pendek kata, Anarkisme perlu di amputasi atau dilenyapkan, untuk selamanya.

Lantas mengapa Anarkisme menjadi paham yang sangat ditakuti sehingga perlu dibrantas habis? Jangan-jangan letak persoalannya hanya karena kita tidak paham betul apa sebenarnya yang menjadi cita cita Anarkisme. Lebih ironis lagi, jangan-jangan secara diam-diam kita, anda dan saya tanpa menyadari, juga dalam beberapa hal bersimpati bahkan untuk banyak hal berbagi keyakinan dengan anarkisme Atas alasan itu semua, perlunya untuk memperdebatkan, merenungkan dan mempertimbangkan anarkisme sehingga akan melahirkan sikap kritis masyarakat sebagai alternatif dari sikap apriori menerima maupun apriori menolak, ataupun membenci secara membabi buta ataupun sikap secara taklid buta untuk menerima atau menolak tanpa suatu kesadaran mengapa dan untuk apa. Oleh karena itu lahirnya sikap dan kesadaran kritis yang didorong oleh suatu keterbukaan, dialog kritis adalah sesuatu yang yang harus difasilitasi oleh karena tema yang umumnya dianggap tabu untuk dibicarakan, bahkan tidak layak untuk diapresiasi, justru yang seharusnya perlu diapresiasi dan yang pertama tama perlu diacungkan jempol.

Lantas, apa sebenarnya dan mengapa Anarkisme begitu kontroversial? Anarkisme sebagai suatu paham atau pendirian filosofis maupun politik yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfat yang terbaik bagi semua jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan pemikiran anarkis yang demikian itu pada dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa intervensi kekuasaan juga tidaklah ssuatu keyakinan yang sangat salah. Lalu dari mana datangnya persepsi bahwa anarkisme berarti mendorong pada kehancuran dan keberantakan? Padahal sangat jelas dari pengertian diatas sesungguhnya Anarkisme tidak identik dengan keyakinan pecinta kehancuran. Bahkan tidak ada indikasi bahwa anarkisme serta merta merupakan cita acita yang menjurus kearah kekacauan ataupun kehanacuraan dan keberantakan. Namun yang jelas memang anarkisme merupakan suatu pemikiran yang mendambakan suatu “orde” yang bersifat spontan. Mereka umumnya menolak segala prinsip otoritas politik, pada saat yang sama sangat percaya bahwa keteraturan sosial niscaya terwujud justru jikalau tanpa otoritas politik. Secara sepintas dapat dilihat, bahwa musuh gerakan anarki adalah segala bentuk otoritas, maupun segala bentuk simbol otoritas, dan bentuk otoritas yang bagi kaum anarkis sangat jelas adalah otoritas yang dimiliki oleh negara moderen. Itulah sebabnya bagi kaum anarkis, negara dipandang memonopoli otoritas kekuasaan yang perlu dibatasi, misalnya seperti kekuasaan territorial yang mereka miliki, kekuasaan yuridiksi atas rakyat termasuk kekuasaan menguasai kekayaan sumber daya didalam wilayah yang mereka kuasai. Kekuasaan negara juga muncul dalam bentuk pemanfaatan sistim hukum positive yang eksistensinya serta merta menundukkan dan menyingkirkan semua bentuk hukum yang “dianggap negatif”, seperti hukum adat dan banyak hukum lainnya. Dan akhirnya gagasan bangsa sebagai suatu bentuk puncak dari politisasi masyarakat juga menghancurkan segala bentuk kelompok kelompok masyarakat. Semua otoritas tersebut dipelihara melalui monopoli penguasaan alat alat pertahanan dan keamanan, bahkan negara memonopoli cara untuk menundukkan rakyat. Sebaliknya anarkisme memang mengidamkan suatu visi social tentang “masyarakat alami” yakni suatu masyarakat swakelola yang mandiri dari para invidual yang secara swadaya membentuknya. Anarkisme bahkan menjadi sikap politik bahwa pemerintahan selain tidak perlu juga destruktif. Ini memang sesuai dengan makna harfiah Anarki, yang konon asal katanya memang berakar dari kata Yunani yang artinya kurang lebih “tanpa aturan atau without a rule”, dan memang dalam perkembangannya telah digunakan.

Apa sebenarnya pandangan, visi dan pendirian filosofis kaum anarkis? Anarkisme mengambil berbagai bentuk dan spektrum, yakni dari Anarkisme aliran kiri dan eskrim kiri, maupun anarkisme aliran kanan bahkan sampai anarkisme ekstrem kanan yang berwatak individualistik. Meskipun anarkisme kelihatannya berakar pada paham kebebasan individual yang liberal, namun lokasi konflik pahamnya justru pada pada titik yang terletak antara negara dan masyarakat. Meskipun terdapat berbagai aliran pemikiran kaum narkisme dalam berpendirian terhadap lokasi konflik negara-masyarakat tersebut. Namun pendirian pendirian mereka sesungguhnya secara sederhana dapat dikatagorikan kedalam Anarki individualistik dan anarki sosialistik. Anarki Individualistik berangkat dari cita cita kebabasan individual, serta berpangkal juga dari kedaulatan individual atas pemilikan harta dan kekayaan pribadi, serta pemilikan privat. Dengan demikian arah anarki individualis ini adalah suatu bentuk dari anarki kapitalisme. Sementara anarki kiri yang berwatak sosialistik justru berangkat dari penolakan kekayaan pribadi dan negara yang menurut mereka sebagai sumber penyebab dari ketidakadilan sosial. Golongan anarki ini justru berpendirian perlunya pembatasan kekuasaan dan keperkasaan negara atas individu dalam kelompok kelompok masyarakat. Pendek kata paham ini adalah perkawinan antara paham bercorak liberalistik dan sosialisme. Itulah mereka juga disebut sebagai Sosialisme Libertarian.

Kalau kita telaah perkembangan pemikiran dan gerakannya, Anarkisme sudah lama sekali berkembang dan pemikiran tersebut masing berkembang hingga saat ini dengan nama, gaya dan bentuk yang berbeda-beda. Meskipun sudah lama berkembang, misalnya William Godwin (1756-1836) telah melontarkan gagasan yang diduga menjadi inspirasi paham Kooperasi sosialis model Owen, namun membincangkan paham anarkisme tidak dapat melupakan bagitu saja tokoh pemikir Proudhon yang pada dasarnyaa mengadaaopsi gagaan koperasi sosialis. Dia melihat bahka kekuasaan negara dan kekuasaan Modal adalah sinonim, sehingga mustahil baginya menggunakan negara untuk memperjuangan kaum proletar. Belakangan Bakunin melanjutkan gagasan tersebut, bedanya Bakunin menempuh jalan pengambilalihan secara revolusioner dan kekerasan untuk membangun kolektivisme. Peter Kropotkin salah seorang pengikutnya Bakunin melanjutkan gagasan tersebut secara lebih komunistik, yakni dengan menganjurkan gagasan “segala sesuatu milik setiap orang, dan pembagian didasarkan pada kebutuhan tertentu masing-masing.

Perkembangan praktek anarkisme demikian juga penentangnya dimana mana dan para buruhpun mulai mengadopsinya yang melahirkan suatu sempalan baru yang dikenal dengan “Anarcho-Syndicalism”, atau Revolutionary Syndicalism. Mulai dari pikiran bahwa fungsi serikat buruh yang secara tradisional memperjuangkan kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja dianggap sudah lagi tidak memadai. Serikat buruh harus menjadi organisasi militan untuk menghancurkan Kapitalisme dan negara. Buruh harus ambil alih pabrik-pabrik dan dikuasai. Dengan demikian, serikat buruh juga dituntut mampu untuk menjadi pengelola manajemen pada saat pasca revolusi. Pendek kata bagi mereka serikat buruh pada dasarnya berfungsi sebagai badan perlawanan, namun pada era pasca revolusi serikat buruh harus juga berfungsi dalam administrasi menjemen untuk mengelola industri. Untuk menjaga stamina militansi, suasana lingkungan perlu secara terus menerus dikembangkan untuk itu. Mereka, para anarki sindikalis dimasa lalu sangat percaya bahwa suatu aksi perlawanan yang massif akan mampu melumpuhkan negara dan bahkan sistim kapitalisme.

Bagaimana gerakan anarki saat ini dan masa mendatang? Saat ini sesungguhnya gerakan anarkisme tengah mengalami kemunduran. Kecuali di Spanyol gerakan anaki dihancurkan dimana-mana. Meskipun dua tokoh Anarki besar seperti Bakunin dan Kropotkin berasal dari Rusia, namun gerakan itu disana justru dikerdilkan oleh rezim totaliter disana maupun idenya dikooptasi oleh Partai Sosialia Revolusioner Narodniki.

Sementara ditempat lain dimasa lalu gerakan Anarkisme pernah mengalami kejayaannya. Contohnya, gerakan perlawanan sosio kultural yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi dianggap sebagai realitas dari pengaruh Anarkisme di Asia. Gandhi berhasil mengembangkan gerakan resistensi dan pembangkangan social yang bersifat anti-kekerasan di Afrika Selatan dan India. Orang percaya bahwa Gandhi banyak membaca pikiran Anarkis seperti Leo Tolstoy dan Thoreau maupun Kropotkin. Meskipun impian Gndhi tentang suatu masyarakat komunal berbasis desa swadaya belum pernah terwujud, tetapi pemikirannya dilanjutkan orang orang sepahamnya dengan mengembangkan gerakan Sardovaya yang dipimpin oleh Vinoba Bhave Jaya Prakash Narayan yang mengembangkan gerakan pemilikan tanah secara kolektif yang dikenal dengan gramdan, dimana pada tahun 60-an menjadi gerakan yang mendapat sambutan secara luas di India.

Di Barat Anarkisme memang menjadi daya tarik kaum intelek. Anarkisme dianggap menjadi pendorong gerakan Civil rights di Amerika akhir tahun 1950-an, dimana warga kulit hitam Amerika melakukan resistensi terhadap ketidakadilan yang dilegalisir dalam konstitusi dengan menggunakan gerakan moral. Gerakan itulah yang dianggap sebagai picu gerakan social selanjutnya, dimana gerakan sosial makin meluas dan meruncing, tidak hanya terbatas sebagai gerakan civil rights tapi telah berkembang menjadi gerakan umum menentang struktur elitisme dan gerakan kritik terhadap gaya hidup materialisme masyarakat industri baik di negara negara Kapitalis maupun negara Komunis. Gerakan itu terus berlangsung hingga tahun tahun 1960-an dan 1970-an. Anarkisme dengan demikian telah menjadi identik dengan gerakan “counter culture” atau budaya tanding yang sangat popular dikalangan anak muda dan Mahasiswa dan kelompok kiri secara umum di Amerika dan Eropa serta Jepang. Namun watak anarkisme generasi ini memang lebih merupakan pemberontakan budaya ketimbang suatu hal yang berwatak ideologis.

Pendirian akan penolakan kaum anarki terhadap negara, serta desakan untuk desentalisasi dan otonomi lokal, sangat gaung kuat terhadap mereka yang bercita cita menegakkan demokrasai participatory. Jika gerakan sosial ditahun 60-an memendam semangat “buruh menguasai industri” maka kelihatannya pikiran Anarcho-Syndicalisme masih hidup. Tetapi Anarkisme generasi tahun 60-an dan 70-an memprakarsai suatu perlawanan masif dan berskala global melalui aksi langsung dengan membentuk parlemen jalanan mempunyai agenda yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Gerakan anarkisme era tersebut menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa mereka menerima warisan pemikiran Bakunin tentang “pan-destructionisme” dimana mereka percaya bahwa sistim masyarakat yang ada saat itu sudah sangat rusak, korup dan munafik sehingga sudah tidak layak lagi untuk diperbaiki dan harus dibersihkan secara total.

Dari perbincangan ini, kita dapat memahami ternyata paham anarkisme tidak sesederhana yang selama ini diprsepsikan oleh banyak orang. Anarkisme juga memiliki anatomi dan bentuk gerakan yang bermacam macam. Menganggap tungal terhadap anarkisme yang sebenarnya beragam tersebut dapat memunculkan suatu kesalahpahaman yang tidak perlu. Karena memang paham anarkisme dalam perkembangannya pernah menjadi pendorong terhadap perubahan sosial menuju suatu masyarakat bebas dari otoritarianisme menuju pada suatu masyarakat egaliter, tanpa dominasi dan demokratis. Bahkan paham Anarkisme telah menjadi inspirasi terhadap lahirnya banyak karya sastra tentang kemanusiaan yang sangat berbudaya. Misalnya saja kritik Ivan Illich terhadap “sekolah” di awal tahun 70-an merupakan salah satu karya seorang anarkis yang memberi isnpirasi bagi berbagai upaya pembaharuan pemikiran dan metodologi pendidikan. Pendek kata sudah lama masyarakat luas menjadi semakin manusiawi dan beradab, justru karena inspirasi dari para pemikir anarkis.

Bagaimana masa depan Anarkisme? Pada saat ini rakyat secara global mnghadapi tantangan besar akibat dari menguatnya paham Neo-Liberalsime. Indikasi menguatnya paham ini telah mendorong tata ekonomi, politik, sosial dan budaya kedalam suatu zaman yang dikenal dengan era Globalisasi. Globalisasi yang merupakan suatu formasi sosial untuk pengintegrasian ekonomi nasional bangsa bangsa kedalam suatu sistim ekonomi Kapitalisme global, juga telah memincu munculnya gerakan anarkisme baru diawal abad ini. Proses Globalisasi yang memaksakan pembentukan sistim, tata relasi dunia baru ini membawa akibat semakin menguatnya institusi modal dan Negara-negara Kapitalis melalui WTO dan Lembaga Keuangan Internasional terdapat indicator telah membangkitkan semngat anarkisme lagi. Berbagai perlawanan rakyat secara global diberbagai tempat menentang WTO dan Bank Dunia menjadi saksi dari kebangkitan gerakan anarkisme lagi yang secara global dikenal yakni The World Bank dan International Monetary Fund (IMF). IMF inilah organisasi yang paling dianggap berkuasa di abad 20.

Justru pada era globalisasi inilah terdapat suatu gejala lahirnya kembali gerakan anarkisme global yang selama ini tidak banyak kedengaran. Globalisasi justru seakan membangunkan kaum anarkis dari tidur, atau paling tidak membangunkan gerakan sosial yang mendapat inspirasi dari kaum anarkis secara global, seperti gerakan anti WTO, gerakan anti Hutang seolah meneruskan gerakan Hijau, gerakan feminisme, gerakan masyarakat Adat ataupun gerakan rakyat kaum miskin kota dan sebagainya. Gerakan rakyat menentang pembangunan Dam dibeberapa tempat di Asia, seperti gerakan anti proyek pembangunan Dam Narmada di India tahun 1980-an, pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari “New Social Movement” yang mendapat inspirasi dari pikiran anarkisme. Pada tahun 1992, gerakan untuk menyelamatkan Narmada ini berhasil mendesak Bank Dunia untuk mencabut dukungannya terhadap proyek tersebut. Gerakan yang “mewarisi sikap Kritis dan semangat anarkisme Mahatma Gandhi” ini adalah merupakan gerakan sosial yang menantang watak otoritarian kekuasaan negara dan sikap ekstraktif dari proses ekonomi yang dominan. Gerakan anarkisme yang dalam era itu juga disebut sebgai “New Social Movement” tumbuh dimana mana, dalam skala lokal, nasional, bahkan global.

Saat ini, sekali lagi kita menyaksikan suatu gerakan “koalisi global menentang WTO dan gerakan “Anti Hutang” Jubilee 2000, serta berbagai koalisi global menentang Bank Dunia, yang ditunjukkan dengan turunnya kembali kaum muda di jalan jalan kota-kota besar dunia setiap diselenggarakan pertemuan Globalisasi adalah fenomena resistensi sosial yang mengingatkan bangkitnya kembali gerakan anarkis atau bahkan terjaganya dari tidur panjang watak anarkis dari gerakan sosial. Gelombang sentimen untuk menentang watak dominasi Neo Liberalisme dan rezim Globalisasi yang mendunia saat ini, bukankah fenomena yang merupakan indikasi lahirnya kembali anarkisme. Masih banyak kasus yang saat ini tidak terungkap, bagaimana gerakan masyarakat di tingkat akar rumput melakukan resistensi terhadap Globalisasi yang pada dasarnya memiliki watak sebagai reinkarnasi pemikiran anarkisme. Misalnya saja gerakan para aktivis untuk membela para petani dari invasi budaya modernisasi pertanian revolusi hijau serta gerakan sosial untuk reformasi agraria dan hak hak petani (peasant rights) di Indonesia saat ini, apakah tidak dapat secara luas dianggap sebagai bangkitnya kembali falsafah anarkisme

Biografi

Mansour Faqih, almarhum lulusan Fakultas Filsafat dan Teologi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hampir selama duapuluh tahun menekuni perannya sebagai fasilitator program pendidikan kerakyatan di berbagai ornop di Indonesia, kecuali masa jeda empat tahun (1988-1992) untuk menyelesaikan program magister dan doktoralnya di Universitas Massachusets, AS, dalam bidang pendidikan dan perubahan sosial, serta empat tahun berikutnya (1992-1996) sebagai Country Representative OXFAM-GB di Indonesia. Juga pernah menjabat sebagai Chairman of Advisory Board Insist, dan aktif sebagai fasilitator pelatihan, pengarah penelitian di ReaD, dewan redaktur jurnal Wacana, menyunting dan menulis beberapa buku terbitan Insist Press, Pustaka Pelajar, dan konsultan senior di Remdec-Jakarta.(biografi singkat ini dikutip dari Kata Zine # 02, Februari-Maret 2007)

Labels:

ABC Dialektika Materialis

Leon Trotsky (1939)


Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.


Dialektika bukanlah fiksi dan bukan pula mistisisme, melainkan sebuah pengetahuan mengenai bentuk pemikiran kita sejauh ia tidak dibatasi ke dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berusaha mencapai sebuah pengertian yang lebih rumit dan proses-proses yang mendesak untuk diperbincangkan. Logika dialektika dan logika formal memikul sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika yang lebih rendah.

Di sini saya akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelian bermula dari preposisi bahwa "A" sama dengan "A". Postulat ini diterima sebagai sebuah aksioma bagi banyak sekali tindakan praktis manusia dan generalisasi-generalisasi elementer.

Tetapi pada kenyataannya "A" tidak sama dengan "A". Hal ini mudah untuk dibuktikan jika kita mengamati dua huruf ini di bawah sebuah lensa --satu sama lain sama sekali berbeda. Namun, orang dapat saja berkeberatan, karena mereka semata simbol bagi kuantitas-kuantitas sederajat, contohnya satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf itu. Keberatan itu tidak penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula --sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya perbedaan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan, tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar --semua bentukan tanpa bisa diinterupsi berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Mereka itu tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sophis akan menanggapi bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya "pada saat yang tertentu".

Terlepas dari nilai praktis yang sangat ekstrim meragukan dari "aksioma" ini, ia tidak bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita harusnya benar-benar memahami kata "saat"? Jika ia adalah sebuah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula ditundukkan menjadi sasaran selama berlangsungnya "saat" tersebut pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan, atau apakah "saat" adalah sebuah abstraksi yang murni matematis, yaitu, sebuah kekosongan dari waktu? Tapi semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiri adalah sebuah proses yang tidak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekuen adalah sebuah elemen fundamental bagi eksistensi. Jadi aksioma "A" adalah sama dengan "A" menandakan bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, yaitu jika ia tidak eksis.

Secara sepintas kelihatannya, "kepelikan-kepelikan" ini tiada berguna. Dalam realita, hal-hal itu amat menentukan arti. Di satu sisi aksioma "A" adalah sama dengan "A" muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuan kita, di sisi lain sebagai titik keberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Untuk membuat penggunaan yang bebas resiko dari aksioma "A" adalah sama dengan "A" adalah hanya mungkin di dalam batasan-batasan pasti. Ketika perubahan-perubahan kuantitatif dalam "A" adalah tidak berarti bagi tugas-tugas yang ada, maka kemudian kita dapat memperkirakan bahwa "A" adalah sama dengan "A". Contohnya ini adalah cara di mana seorang pembeli dan seorang penjual mengingat satu pon gula, demikian pula kita mempertimbangkan suhu matahari. Sampai waktu sekarang ini kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dollar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan-perubahan kuantitatif, yang melebihi batasan-batasan pasti, terkonversi menjadi kualitatif. Satu pon gula tunduk kepada tindakan air atau bensin, berhenti menjadi satu pon gula. Satu dollar dalam pelukan seorang presiden berhenti sebagai satu dollar. Untuk menentukan titik kritis pada saat yang tepat di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah satu dari tugas-tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.

Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama. Dalam perluasan bearing-brass menjadi cone bearings diperkenankan adanya sebuah deviasi atas yang disebut terakhir, yang, bagaimanapun, tidak boleh melampaui batasan-batasan pasti (hal ini disebut toleransi). Dengan mengamati norma-norma toleransi, intinya dipertimbangkan menjadi setara. ("A" adalah sama dengan "A"). Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas; dengan kata lain, cone bearings tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga.

Pemikiran ilmiah kita hanyalah, satu bagian dari keseluruhan tindak praktek kita, termasuk teknik-teknik. Bagi konsep-kopsep, eksistensi "toleransi" juga ada. Toleransi ini ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma "A" adalah sama dengan "A", tetapi dengan logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. "Akal sehat" dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui "toleransi" dialektis.

Pemikiran vulgar beroperasi dengan konsep-konsep macam kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dll. sebagai abstraksi-abstraksi pasti, mengira bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya. Pikiran dialektis menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus berlangsung, sambil menetapkan dalam kondisi-kondisi material dari perubahan-perubahan tersebut yang batas kritis di luar hal yang "A" barhenti menjadi "A", sebuah negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.

Kekurangan fundamental dari pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap untuk mengisi dirinya sendiri dengan cetakan ajeg dari sebuah realitas yang mengandung gerakan abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektis memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibitas kepada konsep-konsep; bahkan saya katakan bahwa ini adalah sebuah kelembapan yang bagi sebuah bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan sebuah kapitalisme tertentu pada sebuah tahap perkembangan tertentu. Bukan sebuah negara pekerja secara keseluruhan, tetapi sebuah negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain-lain.

Pemikiran dialektis berhubungan dengan pemikiran vulgar dengan cara yang sama seperti sebuah gambar bergerak (motion picture) berhubungan dengan sebuah foto yang ajeg. Gambar bergerak tidak berada di luar hukum foto ajeg tetapi mengkombinasikan sebuah urutan dari foto-foto tersebut sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tetapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa untuk membawa pengertian kita menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logika, Hegel mendirikan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kuantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi dari kontinuitas, perubahan posibilitas menjadi hal yang tak dapat dihindarkan adanya, dll., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis sepenting dalam silogisme sederhana bagi tugas-tugas yang lebih elementer.

Hegel menulis, sebelum Darwin dan sebelum Marx. Berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Revolusi Perancis kepada pemikiran, Hegel mengantisipasi gerakan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Tetapi karena itu semata sebuah antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jennius, hal itu menerima sebuah karakter idealistik dari Hegel. Hegel mengoperasikan bayangan-bayangan ideologis sebagai realitas terakhir. Marx mendemonstrasikan bahwa gerakan dari bayangan-bayangan idiologis ini tidak merefleksikan apa-apa kecuali gerakan dari tubuh-tubuh materi.

Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tidak berakar baik di surga maupun di kedalaman dari "kehendak bebas" kita, melainkan di dalam realitas objektif, di alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Di atas tiap undakan tangga perkembangan ini, perubahan-perubahan kuantitatif ditransformasikan menjadi kualitatif. Pikiran kita, terrmasuk pikiran dialektis, hanyalah satu dari bentuk-bentuk ekspresi zat yang berubah. Di dalam sistem ini tidak tersedia tempat bagi Tuhan, Syetan, jiwa kekal, tidak juga norma-norma abadi dari hukum dan moral. Dialektika pemikiran, timbul dari dialektika alam, secara konsekuen memiliki sebuah karakter yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kuantitatif berlanjut pada kualitatif, adalah kemenangan tertinggi dari dialektika dalam seluruh lapangan perkara organik. Kemenangan besar besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom dari unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari satu elemen menjadi satu elemen lain.

Secara erat, transformasi-transformasi ini (spesies, elemen, dll.) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya dalam ilmu alam sebagaimana dalam ilmu sosial. Sistem Linneaus.

(abad ke-18) mempergunakan immutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi mengenai pertanian sesuai karakteristik-karakteristik abadinya. Periode infantil dari botani adalah analogis dengan periode infantil logika, karena bentuk-bentuk pikiran kita berkembang seperti semua hal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah mengenai ide tentang spesies jadi, hanya studi mengenai sejarah evolusi tentang pertanian dan anatominya, menyiapkan basis bagi sebuah klasifikasi yang benar-benar ilmiah.

Marx, yang dalam perbedaan dari Darwin adalah seorang dialektikus yang sadar, menemukan sebuah basis bagi klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan kekuatan-kekuatan produktifnya dan struktur kepemilikan yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi berupa sebuah klasifikasi dialektik materialistis kepada klasifikasi vulgar mengenai masyarakat dan negara, yang bahkan hingga sekarang masih tumbuh dengan subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx dimungkinkan secara benar menentukan baik konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.

Kita lihat, semua ini sama sekali tidak mengandung hal "metafisik" atau "scholastis" sebagai ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektis mengungkapkan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer perjuangan melawan dialektika materialis sebaliknya mengungkapkan sebuah masa lalu yang berjarak, konservatisme dari borjuasi kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan ... sekilat harapan bagi sebuah alter-life (kehidupan yang berubah).

15 Desember 1939.

Labels:

ABC Dialektika Materialis

ABC Dialektika Materialis

Leon Trotsky (1939)


Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.


Dialektika bukanlah fiksi dan bukan pula mistisisme, melainkan sebuah pengetahuan mengenai bentuk pemikiran kita sejauh ia tidak dibatasi ke dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berusaha mencapai sebuah pengertian yang lebih rumit dan proses-proses yang mendesak untuk diperbincangkan. Logika dialektika dan logika formal memikul sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika yang lebih rendah.

Di sini saya akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelian bermula dari preposisi bahwa "A" sama dengan "A". Postulat ini diterima sebagai sebuah aksioma bagi banyak sekali tindakan praktis manusia dan generalisasi-generalisasi elementer.

Tetapi pada kenyataannya "A" tidak sama dengan "A". Hal ini mudah untuk dibuktikan jika kita mengamati dua huruf ini di bawah sebuah lensa --satu sama lain sama sekali berbeda. Namun, orang dapat saja berkeberatan, karena mereka semata simbol bagi kuantitas-kuantitas sederajat, contohnya satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf itu. Keberatan itu tidak penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula --sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya perbedaan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan, tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar --semua bentukan tanpa bisa diinterupsi berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Mereka itu tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sophis akan menanggapi bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya "pada saat yang tertentu".

Terlepas dari nilai praktis yang sangat ekstrim meragukan dari "aksioma" ini, ia tidak bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita harusnya benar-benar memahami kata "saat"? Jika ia adalah sebuah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula ditundukkan menjadi sasaran selama berlangsungnya "saat" tersebut pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan, atau apakah "saat" adalah sebuah abstraksi yang murni matematis, yaitu, sebuah kekosongan dari waktu? Tapi semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiri adalah sebuah proses yang tidak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekuen adalah sebuah elemen fundamental bagi eksistensi. Jadi aksioma "A" adalah sama dengan "A" menandakan bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, yaitu jika ia tidak eksis.

Secara sepintas kelihatannya, "kepelikan-kepelikan" ini tiada berguna. Dalam realita, hal-hal itu amat menentukan arti. Di satu sisi aksioma "A" adalah sama dengan "A" muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuan kita, di sisi lain sebagai titik keberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Untuk membuat penggunaan yang bebas resiko dari aksioma "A" adalah sama dengan "A" adalah hanya mungkin di dalam batasan-batasan pasti. Ketika perubahan-perubahan kuantitatif dalam "A" adalah tidak berarti bagi tugas-tugas yang ada, maka kemudian kita dapat memperkirakan bahwa "A" adalah sama dengan "A". Contohnya ini adalah cara di mana seorang pembeli dan seorang penjual mengingat satu pon gula, demikian pula kita mempertimbangkan suhu matahari. Sampai waktu sekarang ini kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dollar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan-perubahan kuantitatif, yang melebihi batasan-batasan pasti, terkonversi menjadi kualitatif. Satu pon gula tunduk kepada tindakan air atau bensin, berhenti menjadi satu pon gula. Satu dollar dalam pelukan seorang presiden berhenti sebagai satu dollar. Untuk menentukan titik kritis pada saat yang tepat di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah satu dari tugas-tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.

Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama. Dalam perluasan bearing-brass menjadi cone bearings diperkenankan adanya sebuah deviasi atas yang disebut terakhir, yang, bagaimanapun, tidak boleh melampaui batasan-batasan pasti (hal ini disebut toleransi). Dengan mengamati norma-norma toleransi, intinya dipertimbangkan menjadi setara. ("A" adalah sama dengan "A"). Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas; dengan kata lain, cone bearings tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga.

Pemikiran ilmiah kita hanyalah, satu bagian dari keseluruhan tindak praktek kita, termasuk teknik-teknik. Bagi konsep-kopsep, eksistensi "toleransi" juga ada. Toleransi ini ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma "A" adalah sama dengan "A", tetapi dengan logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. "Akal sehat" dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui "toleransi" dialektis.

Pemikiran vulgar beroperasi dengan konsep-konsep macam kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dll. sebagai abstraksi-abstraksi pasti, mengira bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya. Pikiran dialektis menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus berlangsung, sambil menetapkan dalam kondisi-kondisi material dari perubahan-perubahan tersebut yang batas kritis di luar hal yang "A" barhenti menjadi "A", sebuah negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.

Kekurangan fundamental dari pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap untuk mengisi dirinya sendiri dengan cetakan ajeg dari sebuah realitas yang mengandung gerakan abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektis memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibitas kepada konsep-konsep; bahkan saya katakan bahwa ini adalah sebuah kelembapan yang bagi sebuah bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan sebuah kapitalisme tertentu pada sebuah tahap perkembangan tertentu. Bukan sebuah negara pekerja secara keseluruhan, tetapi sebuah negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain-lain.

Pemikiran dialektis berhubungan dengan pemikiran vulgar dengan cara yang sama seperti sebuah gambar bergerak (motion picture) berhubungan dengan sebuah foto yang ajeg. Gambar bergerak tidak berada di luar hukum foto ajeg tetapi mengkombinasikan sebuah urutan dari foto-foto tersebut sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tetapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa untuk membawa pengertian kita menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logika, Hegel mendirikan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kuantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi dari kontinuitas, perubahan posibilitas menjadi hal yang tak dapat dihindarkan adanya, dll., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis sepenting dalam silogisme sederhana bagi tugas-tugas yang lebih elementer.

Hegel menulis, sebelum Darwin dan sebelum Marx. Berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Revolusi Perancis kepada pemikiran, Hegel mengantisipasi gerakan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Tetapi karena itu semata sebuah antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jennius, hal itu menerima sebuah karakter idealistik dari Hegel. Hegel mengoperasikan bayangan-bayangan ideologis sebagai realitas terakhir. Marx mendemonstrasikan bahwa gerakan dari bayangan-bayangan idiologis ini tidak merefleksikan apa-apa kecuali gerakan dari tubuh-tubuh materi.

Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tidak berakar baik di surga maupun di kedalaman dari "kehendak bebas" kita, melainkan di dalam realitas objektif, di alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Di atas tiap undakan tangga perkembangan ini, perubahan-perubahan kuantitatif ditransformasikan menjadi kualitatif. Pikiran kita, terrmasuk pikiran dialektis, hanyalah satu dari bentuk-bentuk ekspresi zat yang berubah. Di dalam sistem ini tidak tersedia tempat bagi Tuhan, Syetan, jiwa kekal, tidak juga norma-norma abadi dari hukum dan moral. Dialektika pemikiran, timbul dari dialektika alam, secara konsekuen memiliki sebuah karakter yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kuantitatif berlanjut pada kualitatif, adalah kemenangan tertinggi dari dialektika dalam seluruh lapangan perkara organik. Kemenangan besar besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom dari unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari satu elemen menjadi satu elemen lain.

Secara erat, transformasi-transformasi ini (spesies, elemen, dll.) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya dalam ilmu alam sebagaimana dalam ilmu sosial. Sistem Linneaus.

(abad ke-18) mempergunakan immutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi mengenai pertanian sesuai karakteristik-karakteristik abadinya. Periode infantil dari botani adalah analogis dengan periode infantil logika, karena bentuk-bentuk pikiran kita berkembang seperti semua hal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah mengenai ide tentang spesies jadi, hanya studi mengenai sejarah evolusi tentang pertanian dan anatominya, menyiapkan basis bagi sebuah klasifikasi yang benar-benar ilmiah.

Marx, yang dalam perbedaan dari Darwin adalah seorang dialektikus yang sadar, menemukan sebuah basis bagi klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan kekuatan-kekuatan produktifnya dan struktur kepemilikan yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi berupa sebuah klasifikasi dialektik materialistis kepada klasifikasi vulgar mengenai masyarakat dan negara, yang bahkan hingga sekarang masih tumbuh dengan subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx dimungkinkan secara benar menentukan baik konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.

Kita lihat, semua ini sama sekali tidak mengandung hal "metafisik" atau "scholastis" sebagai ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektis mengungkapkan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer perjuangan melawan dialektika materialis sebaliknya mengungkapkan sebuah masa lalu yang berjarak, konservatisme dari borjuasi kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan ... sekilat harapan bagi sebuah alter-life (kehidupan yang berubah).

15 Desember 1939.

Labels:

Tuesday, July 10, 2007

Tentang Bibir


"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu”(Hamsad Rangkuti)

Lantas apakah bibir bisa menjadi pengganti alat eksistensi…

Ketika bibir yang ada tidak mampu mengobati kejengahan atas nama sebuah system

Sampai pada posisi “mengalami zaman gila, hati gelap kacau pikiran, mau ikut gila tak tahan, jika tidak ikut tak kebagian .... .Kalatidha" (Seno Gumira Ajidarma).

Kemudian, bisikan tentang pembentukan surga kecil menjadi mentah, ketika hanya berkumpul atas nama sebuah kemanusiaan dibubarkan, dan ditangkap…

Aaaarrrrrggghhhh……..!!!!!!

Lantas, Aku tersadar dari lamunan…

“…punya korek api..???”

Serta merta aku menjawab, “Tidak, aku tidak punya korek nona”

Kemudian, dia pergi sambil tersenyum..

Sementara aku kembali meneruskan lamunanku….

Labels:

Friday, July 06, 2007

Katamu, pikiran harus dibuka, dan gelisah harus dibagi….

Aku malas menulis lagi…..

Yang kuinginkan kembali bercinta bersamamu…

Dan kembali dini hari… sisi sunyi…

Yang juga tidak menjanjikan sebuah kesunyian…


Sesekali mata menutup, pikiran menerawang, mengingat desahanmu,

luar biasa damainya. Perasaan bercampur, sedikit tersenyum…

serta merta marah datang, tapi tidak ada alasan…

selain hanya komitmen tidak ada komitmen..

dan tidak ada hak kepemilikan…

Tapi panas tak dapat didinginkan….

Mata membuka, tangan seketika menulis resah yang harus terbagikan…..

Aku kesepian….

Dalam sunyi yang aku ciptakan…

Karena ramai tidak lebih hanya sekumpulan bangkai korban-korban latah….

Kiranya, kesepian adalah lagu lamamu, Badjingan….!!!!!!

Akh kenapa jemari ini tak mau menari, kenapa otak ini tidak mau merambah imajinasi….

Kenapa, mata ini hanya kekosongan….

Apa, Nihilistik..????!!!!

Akh tidak…..

Aku tidak mau mati sebelum matinya ragaku….

Apa..???!!!!

Aku harus menjadi gila..????!!!

Aaaaaaaarrrrrrgggghhhhhh……..!!!!!!!!!!!!!!

Labels:

Legenda Wongasu


SUATU ketika kelak, seorang tukang cerita akan menuturkan sebuah legenda, yang terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa lalu.Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang, atau memasang sebuah tenda dan memasang bangku-bangku di dalamnya di sebuah pasar malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka, bisa boneka yang digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang digerakkan dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk semua itu, ia akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya “Legenda Wongasu”.
Berikut inilah legenda tersebut:

“Untung masih banyak pemakan anjing di Jakarta,” pikir Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang telah berhasil menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis moneter sudah memasuki tahun kelima, itu berarti sudah lima tahun Sukab menjadi pemburu anjing, mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan manusia, memburu anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan pernah mengira betapa nasibnya berakhir sebagai tongseng.

Semenjak di-PHK lima tahun yang lalu, dan menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab terpaksa menjadi pemburu anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah memojokkannya ke sebuah gubuk berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya, sementara istrinya terpaksa melacur di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj. Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak mampu membeli potas, yang biasa diumpankan para pemburu anjing kepada anjing-anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-anjing itu menggelepar dengan mulut berbusa.

Masih terbayang di depan matanya, bagaimana ia mengelilingi kota sambil membawa karung kosong. Mengincar anjing yang sedang berkeliaran di jalanan, menerkamnya tiba-tiba seperti harimau menyergap rusa, langsung memasukkannya ke dalam karung dan membunuhnya dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab tidak pernah peduli, apakah ia berada di tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang pun akan menghalangi pekerjaannya, karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang anjing liar, dan anjing liar seperti juga binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi, boleh diburu, dibinasakan, dan dimakan.

Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing di dalam karungnya, ia akan berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api, melemparkannya begitu saja ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara berdebum. Pemilik warung akan memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan Sukab akan menerima uangnya tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak beralas kaki, bercelana pendek, dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi pemburu anjing di Jakarta. Ia tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat penjerat berkawat, tapi menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.

Ia berjalan begitu saja di tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan, mengincar anjing-anjing yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-anjing dipelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu diberi makanan yang mahal karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang jumlahnya cukup untuk kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal untuk tidur, dan diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab sangat tidak bisa mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan nasibnya tidak seberuntung anjing-anjing itu.

Namun, anjing tetaplah anjing. Ia tetap mempunyai naluri untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang listrik. Apabila kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara dunia manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana kemari seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap para pemasak tongseng.

“Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-anak menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi di bawah jembatan, hanya supaya mereka tidak mengais makanan dari tempat sampah,” kata istrinya dahulu.

Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat Sukab menjadi pemburu anjing. Hatinya tersobek-sobek memandang istrinya berdiri di ujung jembatan, tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke bawah jembatan bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah jembatan istrinya melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan beralaskan kertas koran. Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya lembaran plastik yang disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih dengan batu. Sukab yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya turun melewati jalan setapak, menghilang ke bawah tenda.

“Inilah yang akan terjadi jika engkau tidak bisa mencari makan,” kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika mempertanyakan kesetiaannya, “pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kelaparan; kedua, kamu toh tahu aku ini sebetulnya bukan istrimu.”

Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka memang hanya tinggal bersama saja di gubug pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup semati, surat nikah apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi buruh pabrik sandal jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa membelikan perempuan itu cincin kalung intan berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih terhormat, pergi dan kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK tiba, Sukab tiada mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu hal: berburu anjing.

Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu anjing. Kini ia mempunyai beberapa warung yang menjadi pelanggannya di Jakarta. Tangkapan Sukab disukai, karena ia piawai berburu di kompleks perumahan gedongan. Konon anjing peliharaan orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang berkeliaran. Tapi Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun jenisnya, dari chihuahua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Perburuan anjing itu menolong kehidupan Sukab. Perempuan yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah menikah itu tak pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala anjing yang diberikan para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan karung berisi anjing kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum, begitu pula ia melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak mereka yang jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, namun dari sinilah cerita baru dimulai.
***
SEPANJANG rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak berteriak mengejeknya.

“Wongasu! Wongasu!”

Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi kemudian perempuan yang disebut istrinya itu pun berkata kepadanya.

“Sukab! Mereka menyebut kita Wongasu!”

“Kenapa?”

“Katanya wajah kita mirip anjing.”

Mereka begitu miskin, sehingga tidak punya cermin. Jadi mereka hanya bisa saling memeriksa.

Betul juga. Mereka merasa wajah mereka sekarang mirip anjing.

“Anak-anak tidak lagi bermain dengan anak-anak tetangga, karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu.”

Ia perhatikan, anak-anak mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam.

“Aduhai anak-anakku, kenapa mereka jadi begitu?” Sukab merenung sendirian. Kalaulah ini semacam karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal semacam itu tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah perburuan anjing itu bisa berlangsung, hanya karena ada juga warung-warung penjual masakan anjing yang selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima karmapala?

Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab yang sederhana, sedangkan ia dan keluar-ganya memakan hanya kepalanya saja karena tidak punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung, yang mestinya cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkaran judi, tempat dahulu ia bertemu dengan perempuan itu-yang telanjur dicintainya setengah mati. Bukan berarti Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah nasib secepat-cepatnya.

Namun kini mereka semua menjadi Wongasu.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan hidup,” kata Sukab.

Perempuan itu menangis. Wajahnya yang cantik lama-lama juga menjadi mirip anjing. Meski sudah tidak melacur, tentu saja ia tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak mereka terkucil dan setiap kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.

Sukab tetap menjalankan pekerjaannya, dan pekerjaannya memang menjadi semakin mudah. Bukan karena anjing-anjing itu melihat kepala Sukab semakin mirip dengan mereka, melainkan karena penciuman mereka yang tajam mencium bau tubuh Sukab yang rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing. Mereka datang seperti menyerahkan diri kepada Sukab yang telah sempurna sebagai Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup membuka karung dan anjing itu memasuki karung itu dengan sukarela, seperti upacara pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan mengakhiri hidup mereka, tentu saja dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Ia akan datang dari ujung rel memanggul karung berisi anjing, melemparkannya ke hadapan pemilik warung berdingklik di tepi rel sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan segera pergi lagi setelah menerima sejumlah uang.

Di belakangnya anak-anak kecil berteriak.

“Wongasu! Wongasu!”

Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubugnya di pinggir kali, seseorang berteriak kepadanya.

“Wongasu! Mereka mengangkut keluargamu!”

Rumah gubugnya porak poranda. Seorang tua berkata kepadanya bahwa penduduk mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan anak-anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi.

“Ke mana?”

“Entahlah, kamu tanyakan sendiri saja sana!”

Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi kali, ia mendengar mereka berbisik-bisik dari dalam gubug-gubug kardus.

“Awas! Wongasu lewat! Wongasu lewat!”

“Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala anjing?”

“Itulah karmapala seorang pembunuh anjing.”

“Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu beli daging sapi dalam masa sekarang ini? Bukankah justru….”

“Husssss…..”

Di kantor polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu akan adanya pengerangkengan tiada semena-mena sebuah keluarga di tepi kali.

“Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi petugas tibum.”

“Apa mereka melanggar ketertiban umum?”

Polisi itu kemudian bercerita, bagaimana salah seorang anak Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu, sehingga mengejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai berdarah-darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerahkan pemukim pinggir kali untuk mengepung gubug mereka. Kejadian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.

Diceritakan oleh polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa.

“Mereka menyalak-nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing,” kata polisi itu, seolah-olah tidak peduli bahwa wajah Sukab juga seperti anjing.

“Hati-hati lewat sana,” katanya lagi, “mereka juga bisa menangkap saudara.”

“Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak manusiawi?”

Polisi itu malah membentak.

“Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir makhluk seperti itu namanya manusia?”

“Mereka juga manusia, seperti Bapak!”

“Tidak! Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara juga lain! Sebetulnya saya tidak bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi pula, Anda bisa bayar berapa?”

Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana serasa ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih manusia. Ia berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.

Setelah malam tiba, ia kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas gubugnya yang hancur, menangis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.

Hal ini membuat orang-orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan itu terasa mengerikan. Ketakutannya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih melolong ke arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam senjata tajam.
***
“MEREKA membantai Sukab,” ujar tukang cerita itu, dan para pendengar menahan nafas.

“Dibantai bagaimana?”

“Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya kalian membantai anjing?”

“Terus?”

“Mereka pulang membawa daging ke gubug masing-masing.”

“Terus?”

“Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam krisis ekonomi berkepanjangan?”

Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran dengan akhir ceritanya.

“Yang bener aje, masa’ Sukab dimakan?”

Tukang cerita itu tersenyum.

“Lho, itu tidak penting.”

Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita berakhir, berbalik lagi.

“Apa yang penting?”

“Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-orang bangun kesiangan karena makan terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi suatu peristiwa di luar dugaan.”

“Apa yang terjadi?”

“Ketika terbangun mereka semua terkejut ketika saling memandang, mereka bangkit dan menyalak-nyalak, lari kian kemari sambil berkaing-kaing seperti anjing!”

“Haaaa?”

“Kepala mereka telah berubah menjadi kepala anjing!”

“Aaahhh!!!”

“Mereka semua telah berubah menjadi Wongasu!!”

Mulut tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-talu sebagai tanda cerita berakhir, dan mulut para asistennya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir sebagai tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah terjulur.

Di langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan menyepuh daun yang masih juga selalu memesona.

Pertunjukan akhirnya benar-benar selesai, tukang cerita itu memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para penonton yang semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian yang lebih baik tentang asal-usul mereka sendiri. Guk!

* Cirebon-Wangon-Jogja, Januari 2002.

* Pesan pengarang: Sayangilah anjing, sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.

dimuat di: Kompas, Minggu 3 Maret 2002

(Seno Gumira Ajidarma)

Labels: